Banda Aceh. RU – Forum Peduli Rakyat Aceh (FPR Aceh) secara tegas mendesak Presiden untuk membatalkan rencana pembangunan lima dari enam batalyon Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Aceh.
Proyek yang dikerjakan Kementerian Pertahanan ini dituding dilakukan secara diam-diam dan menuai kecaman keras dari berbagai pihak, mengingat urgensi dan dampaknya yang kompleks terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan historis Aceh.
Demikian disampaikan Ketua Umum FPR Aceh, Muammar MR, M.Sos kepada media rahasiaumum.com melalui pers release, Kamis (26/06/2025) di Banda Aceh.
Pembangunan Batalyon di Tengah Badai Ekonomi dan Konflik Sosial
Ketua Umum FPR Aceh, Muammar MR, M.Sos, menyayangkan langkah pemerintah pusat yang dinilai tidak peka terhadap kondisi ekonomi nasional yang sedang carut-marut. Di tengah krisis ini, Muammar mempertanyakan prioritas pembangunan fasilitas militer.
“Apa urgensinya batalyon dibangun di tengah kondisi ekonomi nasional yang sedang carut-marut dan masih berlangsungnya pertikaian antarwarga dalam kasus empat pulau antara masyarakat Aceh dan Sumut?” tegasnya.
Penolakan masyarakat Aceh terhadap pembangunan batalyon ini bukanlah hal baru. FPR Aceh menyoroti penolakan berulang kali yang telah disampaikan masyarakat, namun diabaikan. Ini memicu kekhawatiran akan adanya pengabaian suara rakyat.
Trauma Sejarah dan Pelanggaran HAM yang Belum Tuntas
Dari perspektif sosiologis, FPR Aceh memandang bahwa pembangunan batalyon ini berpotensi memperpanjang trauma sosial pasca-konflik berkepanjangan di Aceh.
Perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia, yang meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Aceh, seharusnya menjadi pelajaran berharga.
Kehadiran militer yang masif dikhawatirkan akan membangkitkan kembali kecurigaan dan ketegangan di tengah upaya pemulihan perdamaian yang selama ini dibangun.
Secara historis, FPR Aceh juga menyoroti masih banyaknya pelanggaran HAM yang belum diselesaikan secara hukum. Komnas Perempuan mencatat 117 kasus pemerkosaan terhadap perempuan Aceh yang hingga kini belum mendapatkan keadilan.
Selain itu, isu penulisan ulang sejarah Indonesia yang berpotensi menghapus fakta sosial penting tentang peristiwa traumatis di Aceh, menambah kekhawatiran masyarakat.
Muammar menegaskan, mengabaikan atau bahkan menghapus sejarah kelam ini dapat menjadi bumerang bagi upaya rekonsiliasi dan pembangunan kepercayaan antara Aceh dan pemerintah pusat.
Melawan MoU Helsinki dan Kecurigaan Masyarakat
FPR Aceh secara tegas menyatakan bahwa pembangunan batalyon ini bertentangan dengan semangat MoU Helsinki, sebuah kesepakatan damai yang seharusnya menjadi landasan utama dalam menjaga perdamaian di Aceh.
“Tidak ada urgensinya militer disuruh mengamankan lahan pertanian dan peternakan Aceh,” tambah Muammar, menyoroti pergeseran peran militer yang dianggap tidak sesuai dengan konteks perdamaian dan kebutuhan nyata masyarakat.
Seruan untuk Pembatalan dan Penjagaan Perdamaian
Demi menjaga perdamaian dan meredakan kecurigaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat, FPR Aceh meminta seluruh elemen civil society, Pemerintah Aceh, serta anggota DPD dan DPR RI untuk segera berkomunikasi dengan pemerintah pusat.
Tujuannya adalah agar rencana pembangunan batalyon yang terkesan diselenggarakan secara tertutup ini segera dibatalkan.
Pembatalan ini bukan hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap aspirasi masyarakat, tetapi juga sebagai investasi dalam perdamaian jangka panjang di Aceh.(rel)