SUNGAI YANG MARAH; KARTOGRAFI KERUSAKAN ACEH TAMIANG

Kondisi Kota Kualasimpang pasca banjir Aceh Tamiang 26 November 2025. Selasa 9 Desember 2025. [Foto Dok : rahasiaumum.com/S004]

Banjir yang Menelanjangi Tata Ruang

AIR BAH itu datang seperti vonis. Bukan sebagai tamu, bukan sekadar peristiwa alam, tetapi keputusan terakhir dari bentang alam yang lama dipaksa menahan derita.

DalamDalamDalamDalam delapan jam, 12 kecamatan dan 216 desa di Aceh Tamiang menyerah di bawah lumpur cokelat yang membawa log kayu, tanah hancur, dan memori buruk yang berulang.

Tahun-tahun sebelumnya, warga masih menyebutnya “banjir”. Kali ini tidak. Air yang datang bukan sekadar naik—melainkan menghantam. Orang-orang menamai gelombang itu air keras: cepat, tebal, dan meratakan apa pun yang disentuhnya.

Di tengah kekacauan itu, dua suara muncul dari arah berbeda tetapi nyaris senada.

Satu dari gedung parlemen—Nasir Djamil, anggota DPR RI asal Aceh.

Satu lagi dari hutan-hutan yang sudah ompong—Sayed Zainal M, Direktur Eksekutif LembAHtari.

Keduanya sepakat: apa yang melanda Aceh Tamiang bukan semata banjir, melainkan ledakan ekologis. Letusan dari akumulasi keputusan buruk, kelalaian panjang, dan tata ruang yang dibiarkan usang.

MENYUSURI JEJAK KERUSAKAN: PETA, KASUS, DAN HILANGNYA HULU

SAAT AIR surut pada hari ketiga, Sungai Tamiang seperti membuka mulutnya. Ia memperlihatkan segala yang selama ini disembunyikan; akar-akar pohon yang patah, batang-batang besar yang turun dari hulu, bukit-bukit yang disayat galian tambang, dan jejak kanal sawit yang merembes hingga tepi sungai.

Tim investigasi LembAHtari yang turun ke lapangan hanya mengonfirmasi apa yang selama ini mereka duga. Temuan mereka menyebutkan;

Tutupan hutan di Aceh Tamiang menyusut drastis dalam 20 tahun terakhir.

Ada 21 titik tambang [legal dan ilegal] yang menjadi sumber sedimentasi berat.

Lebih dari 12 konsesi sawit menjorok hingga ke zona lindung DAS.

“Hulu kita sudah compang-camping. Bagaimana hilir tidak tenggelam?” kata Sayed Zainal dalam wawancara investigatif yang dilakukan Tempo.

Data citra satelit memperlihatkan perubahan besar pada Sungai Tamiang. Yang dulu lebar, kini menyempit oleh endapan bukit yang runtuh. Delta-delta baru muncul seperti daging tumbuh dari luka lama. Kapasitas sungai menyusut.

Ketika hujan ekstrem datang, sungai itu kehilangan daya tampung. Ia meluap—liar, tanpa arah, membawa amarah bertahun-tahun.

Ini bukan kejadian mendadak. Ini kulminasi dari dua dekade tanpa konservasi.

‘TATA RUANG KITA SUDAH USANG’

PADA sebuah pertemuan terbatas bersama Bupati Armia Pahmi, nada suara Nasir Djamil terdengar berbeda dari biasanya. Tidak lagi lunak atau diplomatis. Ada ketegasan yang seperti telah lama ia tahan.

“RTRW Aceh Tamiang harus dirombak secara radikal. Bukan tambal sulam. Tata ruang adalah jantung pembangunan; kalau jantungnya rusak, semua mati.”

Menurut Nasir, wajah Aceh Tamiang hari ini hanyalah cermin dari tata ruang yang gagal membaca perubahan zaman. Suatu dokumen perencanaan yang tetap diam sementara laju kerusakan berjalan cepat.

Ia menyoroti tiga masalah besar yang selama ini seperti dibiarkan menjadi rahasia umum.

1. Zona Larangan dan Zona Lindung yang Bocor

Hulu seharusnya steril dari pembukaan lahan. Namun peta-peta terbaru menunjukkan jalan logging baru, land clearing sawit, dan permukiman kecil yang muncul di area yang semestinya menjadi penyangga air.

2. HGU Sawit yang Melebihi Batas

“Kelebihan HGU harus dikembalikan. Itu hak negara, bukan hak korporasi,” ujar Nasir.

Beberapa perusahaan sawit memiliki konsesi yang merambah hingga jalur hijau sungai. Dalam banyak kasus, garis sempadan sungai hanya menjadi angka di kertas.

3. Ruang Ekonomi dan Pemukiman yang Tidak Siap Banjir Besar

Desa-desa yang berulang kali terendam harus dipindahkan melalui relokasi humanis—bukan sekadar memindahkan rumah, tetapi memindahkan masa depan.

AIR BAH DAN ‘SUMPAH EKOLOGIS’

SAYED ZAINAL menyebut bencana ini sebagai “sumpah ekologis”—istilah yang ia gunakan untuk menggambarkan bagaimana alam mengembalikan semua kesalahan manusia dalam satu momentum besar.

“Ini bukan bencana alam. Ini bencana ulah manusia. Dan sebenarnya kita sudah memintanya sejak lama.”

Dalam laporan investigatifnya, Sayed membongkar pola kerusakan:

Jalan logging membuka jalur longsor.

Kanal sawit memotong aliran air alami.

Tambang galian C menggerus bantaran sungai.

Pembukaan lahan liar menghapus akar yang seharusnya menahan tanah.

Analisis hidrologi LembAHtari menemukan fakta mencengangkan: kapasitas Sungai Tamiang turun 34% dalam 15 tahun akibat sedimentasi.

Saat curah hujan ekstrem terjadi, sungai kehilangan kemampuan menahan debit. Air meluncur deras, menciptakan gelombang tumbukan. Rumah hanyut. Jembatan patah. Desa terputus.

Orang-orang di hilir menyaksikan sendiri bagaimana gelombang itu membawa ratusan log kayu dari hulu—kayu yang tak mungkin hanyut jika hutan di atas masih utuh.

PENANGANAN BENCANA: ANTARA KEBIJAKAN DAN KESEDIAAN BERUBAH

NASIR DJAMIL menilai bahwa penanganan bencana ekologis tidak bisa lagi dilakukan dengan pola lama. Harus berbasis data, teknologi, dan komando tunggal.

Menurutnya, ada lima tahapan penanganan yang harus dipahami pemerintah daerah:

Tahap Darurat (0–72 jam)

Evakuasi, pemetaan cepat berbasis LIDAR, dan helikopter untuk lokasi terisolasi.

Tahap Stabilitas (hari 3–14)

Pengungsian aman, logistik satu pintu, pemantauan retakan bukit untuk mencegah banjir susulan.

Tahap Pemulihan (2–8 minggu)

Pembersihan puing, normalisasi sungai berbasis ekologi, trauma healing.

Tahap Rehabilitasi (2–12 bulan)

Audit ekologis, check dam, pembangunan rumah elevated.

Tahap Reformasi (jangka panjang)

Revisi RTRW, moratorium izin, penegakan hukum lingkungan yang konsisten.

TITIK TEMU NASIR – SAYED: HULU ADALAH KUNCI

Walau satu seorang legislator dan satu lagi aktivis, keduanya bertemu pada satu kesimpulan dasar:

Penyembuhan Aceh Tamiang dimulai dari hulu.

Tanpa hulu yang pulih;

Normalisasi sungai sia-sia,

Tanggul hanya bertahan sementara,

Sistem peringatan dini hanya memberi alarm, bukan solusi.

Nasir mendesak Bupati membuat tiga agenda besar;

Masterplan Mitigasi Banjir 2026–2045.

Audit HGU dan tambang.

Pengajuan anggaran strategis ke PUPR dan BNPB.

Sedangkan Sayed membawa tuntutan yang lebih keras;

Moratorium total izin sawit & tambang.

Restorasi hutan riparian.

Penegakan hukum tanpa pandang bulu.

Pelibatan masyarakat adat dalam menjaga hulu.

JEJAK-JEJAK YANG TERSISA DI LAPANGAN

DI KAMPUNG Alur Manis, Tempo bertemu Maryam (68), seorang ibu tua yang duduk di samping puing rumahnya. Kayu-kayu patah masih menancap di tanah. Bau lumpur belum hilang.

“Saya tak pernah tebang hutan, Bang. Kami Cuma tinggal di sini. Tapi sungai marah sama kami.”

Kalimat itu seperti merangkum ketidakadilan ekologis:

Yang merusak bukan warga.

Yang menikmati bukan warga.

Tetapi yang menanggung bencana adalah mereka.

Di Lubuk Sidup, jembatan yang rontok akibat dihantam log menjadi bukti visual bahwa kayu-kayu itu berasal dari hulu yang dibiarkan rusak. Warga menyaksikan sendiri bagaimana batang-batang besar itu berubah menjadi proyektil.

Pertanyaan pun menggantung:

Siapa yang membiarkan hulu rusak? Siapa yang menikmati hasilnya? Dan siapa yang akhirnya membayar kerusakannya?

Tidak ada jawaban sederhana. Tetapi bencana ini memaksa semua pihak berhenti berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

MENGEMBALIKAN MARWAH ALAM; REKOMENDASI KUNCI

Dari analisis lintas lembaga, lima rekomendasi utama menonjol;

  • Revisi Radikal RTRW dan RDTR – bukan sekadar ganti peta, tetapi ganti cara berpikir.
  • Audit HGU dan Perizinan Tambang – kembalikan lahan negara yang dikuasai berlebihan.
  • Pemulihan Hulu DAS – reforestasi, check dam, buffer zone, restorasi koridor satwa.
  • Sistem Peringatan Dini Modern – sensor IoT, dashboard AI, sirine otomatis.
  • Penegakan Hukum Lingkungan – bukan surat teguran, tetapi pencabutan izin dan pemidanaan.

BENCANA INI ADALAH PELAJARAN TERAKHIR

DALAM penutupannya kepada Tempo, Nasir Djamil berkata pelan, tetapi tegas;

“Tamiang harus bangkit dengan tata ruang yang benar. Jika ruangnya kacau, masa depannya ikut hancur.”

Sayed Zainal memberikan penutup yang lebih menusuk;

“Ini bukan takdir. Ini peringatan terakhir. Hulu yang rusak akan selalu mengirim pesan ke hilir—dan pesannya selalu berupa bencana. Kita masih bisa memperbaikinya, tapi waktu kita tidak banyak.”

Air bah Aceh Tamiang 2025 bukan sekadar bencana. Ia adalah cermin retak dari hubungan manusia dengan alam. Sebuah panggilan mendesak untuk memperbaiki diri, memperbaiki sistem, dan mengembalikan kehormatan hutan yang telah terlalu lama disakiti.(S004)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *