Kualasimpang. RU – Kejahatan lingkungan tidak boleh disederhanakan menjadi perkara kecil.
Keabadian Hutan di Kuala Genting hilang, masa depan anak terampas oleh keserakahan.
Hamparan luas lahan yang dulu ditumbuhi rerimbunan kayu bakau dipesisir Aceh Tamiang, kini telah disulap para penakluk hutan secara ilegal menjadi tanaman kelapa sawit.
Dampak dari kejahilan tangan para perusak hutan bakau ini membuat Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) menjadi berang dan membawa keranah hukum.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, ini kejahatan lingkungan,” tegas Sayed Zainal M., SH, Direktur LembAHtari, saat ditemui di Kualasimpang, Kamis (13/11/2025).
Direktur Eksekutif LembAHtari, Sayed Zainal, M, SH menyebutkan, ekspos kasus yang digelar Polres Aceh Tamiang pada 28 Oktober 2025, penyidik hanya menetapkan satu tersangka berinisial I selaku pemilik alat berat yang ditemukan rusak di lokasi perambahan pada 19 Agustus 2025.
Namun, ironinya, hasil penyelidikan menyebutkan area yang dirambah hanya seluas 344,7 hektare dan tidak menyebut bahwa sebagian lahan itu masuk dalam kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP).
Padahal, menurut temuan lapangan LembAHtari, pada hari yang sama pihak mereka sudah menyerahkan berkas Kelompok Tani (Poktan) “BB” kepada penyidik, yang diduga berisi nama-nama pelaku utama pembabatan hutan bakau menjadi kebun kelapa sawit di Alur Cina, Dusun Ujung Baru, Desa Kuala Genting Kecamatan Bendahara.
“Publik berhak tahu, apakah nama-nama itu sudah diteruskan dalam bentuk SPDP ke Kejaksaan Negeri Kuala Simpang atau belum,” desak Sayed Zainal.
Perhatian terhadap kawasan yang dirusak itu semakin menguat setelah Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) Garuda RI memasang plang larangan di dua titik lokasi pada 11 September 2025.
Sebut Sayed, Tim yang dipimpin Dankorwil PKH Garuda RI wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara, bersama KPH Wilayah VII, bahkan menumbangkan sekitar 100 batang sawit muda sebagai simbol penegasan bahwa lahan tersebut merupakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang dirambah secara ilegal oleh pelaku kejahatan perambah hutan.
Namun, bagi LembAHtari, tindakan simbolik itu belum cukup. Mereka menilai ada kejanggalan besar dalam lamanya proses hukum di Kepolisian.
“Mustahil perambahan seluas ini tak diketahui sejak awal 2023. Baik aparat hukum maupun pihak KPH Wilayah VII pasti melihat, tapi diam seolah melindungi,” kata Sayed Zainal tajam.
Kekecewaan terhadap kinerja aparat hukum di daerah mendorong LembAHtari melangkah lebih jauh. Pada 25 September 2025, bersama jaringan Sumatera Environmental Initiative (SEI), Aceh Wetland Forum (AWF), dan difasilitasi Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI), lembaga ini melaporkan kasus tersebut ke Bareskrim Mabes Polri serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)-RI.
Langkah itu ditempuh Sayed Zainal beserta jaringannya karena mereka melihat adanya dugaan kelalaian dan lemahnya pengawasan di tingkat daerah.
“Kami ingin kasus ini diambil alih oleh Polda Aceh, bahkan bila perlu penyelidikan ulang di bawah koordinasi Mabes Polri dan Satgas Garuda RI di Kejaksaan Agung,” tambah Sayed Zainal.
Kini di tepian alur Kuala Genting, warga menyebut suara mesin beko yang dulu meraung tiap malam telah lama berhenti.
Tapi yang tertinggal adalah keterkejutan ekologi [daerah resapan air hilang, abrasi semakin cepat, dan nelayan tradisional kian sulit mendapatkan kepiting bakau.
Sementara proses hukum seperti besi robot baja tua berdiri kaku lantaran masih berjalan di tempat, dan hutan bakau yang menjadi benteng alami pesisir Aceh Tamiang terus menunggu keadilan dari pihak kepolisian untuk menangkap para pelakuperambah hutan serta tokoh utamanya.(S011)















