Banda Aceh. RU – Pagi itu, Aula Mapolda Aceh terasa berbeda. Suasana khidmat bercampur semangat kebersamaan menyelimuti ruangan ketika Wakil Gubernur Aceh, H. Fadhlullah, SE, bersama jajaran Forkopimda menandatangani Deklarasi Green Policing.
Sebuah ikrar bersama yang diyakini bisa menjadi tonggak baru dalam upaya menyelamatkan bumi Aceh dari cengkeraman tambang ilegal yang sudah bertahun-tahun menggerogoti alam.
“Tambang liar bukan hanya merusak lingkungan, tapi juga mengancam kelangsungan hidup masyarakat sekitar,” tegas Fadhlullah, membuka matanya lebar-lebar menatap hadirin. Kalimat itu bukan sekadar peringatan, tetapi juga sebuah pengakuan; bahwa Aceh memang sedang menghadapi krisis yang tak bisa lagi ditunda penanganannya.
Luka Lama dari Tambang Liar
Aceh dianugerahi sumber daya alam yang melimpah. Hutan tropisnya menyimpan keanekaragaman hayati, sungai-sungai mengalirkan kehidupan, dan perut buminya menyimpan mineral berharga. Namun, di balik anugerah itu, ada luka yang belum sembuh.
Tambang ilegal—atau yang akrab disebut PETI (Pertambangan Tanpa Izin)—menjadi masalah klasik. Di berbagai kabupaten, masyarakat masih tergoda mengadu nasib dengan sekop, mesin dompeng, dan tumpukan solar bersubsidi.
Aktivitas itu seringkali meninggalkan jejak: sungai yang keruh, lahan yang longsor, konflik horizontal, hingga rusaknya nilai kearifan lokal.
“Banyak desa kami rusak karena tambang. Sawah jadi tercemar, air tidak bisa diminum lagi,” ungkap seorang warga pedalaman Aceh Tengah yang sempat diwawancarai tim relawan lingkungan. Suaranya lirih, namun sarat dengan kegelisahan.
Polisi Harus Hadir di Tengah Masyarakat
Di hadapan forum, Kapolda Aceh Irjen Pol Marzuki Ali Bashyah menekankan, Green Policing bukan sekadar penegakan hukum.
“Persoalan tambang ilegal tidak bisa dilihat dari sisi hukum semata. Ada konflik antara masyarakat dan negara yang harus kita dekati dengan cara sosial dan edukatif,” ujarnya.
Green Policing, kata Kapolda, adalah pola baru: polisi tidak hanya menjadi aparat penindak, tetapi juga mediator, pendidik, dan fasilitator solusi. Salah satunya dengan mendorong lahirnya Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), sebuah jalan legal agar masyarakat tetap bisa bekerja tanpa merusak lingkungan dan tanpa harus berurusan dengan jerat hukum.
Jalan Sulit, Harapan Panjang
Langkah ini tentu tidak mudah. Dirkrimsus Polda Aceh, Kombes Pol Zulhir Destrian, mengakui aparat kerap berhadapan langsung dengan masyarakat saat penindakan PETI.
“Pernah ada penghadangan. Karena itu, solusi WPR ini sangat penting. Kita harus hadir bukan hanya membawa pasal, tetapi juga jalan keluar,” katanya.
Polda Aceh bahkan menggandeng SPBU agar tidak lagi menyalurkan BBM ke jalur ilegal yang mendukung PETI. Langkah kecil, tapi diharapkan bisa memutus rantai distribusi yang selama ini menopang aktivitas tambang liar.
Alam Aceh, Warisan Generasi Mendatang
Di sisi lain, Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Joko Hadi Susilo, mengingatkan betapa seriusnya ancaman tambang ilegal.
“Jika dibiarkan, tambang liar bisa berujung bencana; kerusakan hutan, longsor, bahkan korban jiwa. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi masa depan anak cucu kita,” katanya lantang.
Suara Pangdam seolah mengingatkan hadirin: bahwa tanah Aceh bukan hanya warisan sejarah, tapi juga warisan ekologis yang tak ternilai harganya.
Deklarasi Lima Komitmen
Deklarasi Green Policing akhirnya ditandatangani bersama oleh unsur pemerintah, ulama, akademisi, aparat, dan masyarakat. Lima komitmen pun disepakati; 1).Menolak segala bentuk PETI; 2).Mendukung sosialisasi dampak negatif tambang liar. 3).Mendorong pembentukan WPR. 4).Berbagi informasi valid terkait aktivitas tambang ilegal. 5).Menegakkan hukum secara terpadu dan berkelanjutan.
Sebuah Momentum, Bukan Seremoni
Bagi sebagian masyarakat, deklarasi semacam ini kerap dianggap hanya seremoni belaka. Namun, ada harapan besar agar Green Policing benar-benar menjadi gerakan nyata, bukan sekadar jargon.
Seorang aktivis lingkungan dari Aceh Besar menegaskan; “Kuncinya ada pada konsistensi. Jangan hanya berhenti di tanda tangan deklarasi. Alam Aceh sudah terlalu lama jadi korban. Saatnya kita semua bertanggung jawab.”
Green Policing adalah panggilan moral sekaligus strategi kolaboratif. Ia mengajak semua pihak untuk berhenti melihat tambang liar semata sebagai masalah hukum, tetapi juga sebagai persoalan sosial, ekonomi, dan budaya.
Jika komitmen ini dijalankan serius, maka mungkin suatu hari kelak, anak-anak Aceh masih bisa mendengar kicau burung di hutan, menikmati air sungai yang jernih, dan mewarisi tanah yang subur—bukan sekadar cerita tentang tanah yang pernah dirusak oleh tambang ilegal. [].