Integritas Runtuh di Meja Pelayanan

Avatar photo

“Integritas bukan sekadar jargon di ruang rapat atau baliho di pinggir jalan. Integritas adalah janji negara yang seharusnya hadir di meja pelayanan publik. Dan ketika skor integritas Aceh masih merah, sesungguhnya yang tercederai bukan hanya nama daerah, melainkan hak-hak dasar warganya.”

Banda Aceh. RU – Jumat siang lalu 3 Oktober 2025 yang teduh, ruang pertemuan Ombudsman RI Perwakilan Aceh dipenuhi suasana serius namun hangat.

Tim Survei Penilaian Integritas (SPI) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hadir dengan membawa satu pesan utama; skor integritas pemerintah daerah di Aceh masih rendah, dan ini bukan sekadar angka. Angka itu sejatinya adalah cermin dari wajah pelayanan publik.

Ia berbicara tentang antrean panjang warga yang mengurus akta kelahiran di kantor dinas kependudukan, tentang ibu-ibu yang menunggu obat di puskesmas dengan wajah resah, atau tentang orang tua yang setiap tahun khawatir karena anaknya sulit masuk sekolah negeri akibat pungutan liar di balik sistem penerimaan murid baru.

Di sinilah KPK dan Ombudsman bersua, mencoba menyatukan langkah. Bagi mereka, korupsi bukan hanya perkara kerugian negara dalam miliaran rupiah. Lebih jauh, ia berarti kerugian masyarakat: waktu terbuang, biaya ekstra, hak dasar yang terampas.

Melampaui Dokumen, Menyentuh Realita

Dian Rubianty, Kepala Ombudsman Aceh, menjelaskan bagaimana lembaganya menilai kinerja pemerintah daerah. Penilaian bukan hanya di atas kertas, melainkan turun langsung ke lapangan.

“Kami observasi fasilitas, kami wawancarai petugas, bahkan kami dengar sendiri keluhan masyarakat. Jadi hasilnya bukan asumsi, melainkan kondisi nyata,” ujarnya.

Metode ini menyingkap fakta-fakta yang kerap tersembunyi di balik laporan administratif rapi. Kursi tunggu yang reyot di puskesmas, guru honorer yang tak dibayar tepat waktu, hingga murid dari keluarga miskin yang tertinggal karena sistem penerimaan murid baru tak transparan [semua masuk catatan Ombudsman].

Titik Temu Mandat, Korupsi dan Maladministrasi

“KPK dan Ombudsman punya irisan mandat yang sama, sebab maladministrasi sering kali jadi pintu masuk korupsi,” lanjut Dian.

Pernyataan ini sederhana, tapi mengandung makna dalam. Jika maladministrasi dibiarkan, ia seperti retakan kecil di dinding yang lama-lama membuat bangunan runtuh.

Dari pelayanan yang diskriminatif lahirlah pungli; dari birokrasi berbelit lahir celah suap.Karena itu, data SPI KPK [yang bersifat makro dan mengukur risiko korupsi] akan semakin tajam bila dipadukan dengan temuan Ombudsman yang lebih mikro dan dekat dengan realita masyarakat.

Predikat yang Bukan Sekadar Papan Nama

Pertemuan juga membahas pembangunan Zona Integritas menuju predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM).

KPK memberi syarat dari sisi integritas, sementara Ombudsman memastikan kepatuhan pelayanan publik.

Kombinasi keduanya diharapkan membuat predikat WBK/WBBM tak berhenti pada papan nama di depan kantor, melainkan menjelma perubahan nyata yang dirasakan warga.

“Predikat ini harus menjadi bukti, bukan sekadar simbol,” kata Dian.

Skor Merah yang Menyimpan Alarm

Namun, pesan yang dibawa Tim SPI KPK ke Banda Aceh tetaplah sebuah alarm. Artha Vina, Ketua Tim Tindak Lanjut SPI KPK, menyampaikan bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Aceh masih meraih skor rendah dalam Indeks Integritas Nasional 2024.

“Ini menandakan risiko korupsi masih tinggi. Perlu langkah cepat memperbaiki indikator yang merah nilainya,” tegas Artha.

Skor rendah berarti masih banyak layanan publik yang rawan praktik suap, pungutan liar, atau diskriminasi. Padahal, masyarakat menggantungkan harapan pada pemerintah daerah untuk memenuhi hak-hak dasar; kesehatan, pendidikan, administrasi kependudukan, dan perlindungan sosial.

Mengembalikan Rasa Percaya

Di balik diskusi antar lembaga itu, terselip harapan besar. Mengembalikan rasa percaya masyarakat pada pemerintah.Seorang bapak dari Aceh Utara pernah berkata kepada tim Ombudsman, “Saya tidak butuh birokrasi yang muluk-muluk, saya hanya ingin mengurus KTP tanpa harus bolak-balik dan keluar uang tambahan.”

Kalimat itu sederhana, tapi menjadi inti dari semua kerja pencegahan korupsi dan pengawasan maladministrasi. Menghadirkan pelayanan yang adil, cepat, dan manusiawi.

Sinergi untuk Perubahan Nyata

Langkah Ombudsman dan KPK berkolaborasi bisa jadi momentum baru. Data, temuan lapangan, hingga keluhan masyarakat tak boleh berhenti sebagai dokumen, melainkan harus menjadi peta jalan perbaikan.

Integritas sejatinya bukan jargon. Ia adalah soal bagaimana seorang petugas puskesmas menyambut pasien dengan senyum tulus tanpa meminta imbalan, bagaimana seorang guru menerima murid tanpa diskriminasi, bagaimana aparat desa melayani warganya tanpa pamrih.

Aceh, dengan skor integritas yang masih merah, memiliki PR besar. Tapi sinergi KPK dan Ombudsman setidaknya menyalakan lilin di tengah gelap, bahwa perubahan mungkin terjadi, asalkan kemauan politik pemerintah daerah sejalan dengan suara rakyat yang ingin dilayani dengan adil.

Hal ini menggali dimensi humanis dari skor integritas KPK dan Ombudsman, dengan menekankan bahwa angka rendah bukan sekadar statistik, melainkan wajah nyata dari penderitaan masyarakat ketika pelayanan publik tidak beres. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *