Adat dan Kebudayaan Aceh Tamiang Mulai Bangkit di Tengah Arus Modernisasi
Kualasimpang. RU – Di sebuah pagi yang hangat di Kampung Alur Tani, suara tabuhan gendang panjang terdengar sayup dari sebuah rumah panggung tua.
Anak-anak muda berkumpul, mempraktikkan gerak lembut Tari Landok Alun, tarian tradisional yang selama bertahun-tahun hampir hilang dari ingatan generasi baru. Lembutnya gerak tangan, langkah perlahan, serta irama melayu yang mengalun seakan menghidupkan kembali atmosfer lama yang pernah mewarnai kehidupan masyarakat Tamiang.
Pemandangan itu bukan sekadar latihan tari; ia adalah penanda penting bahwa Aceh Tamiang sedang memasuki fase kebangkitan budaya.
Kearifan Lokal yang Tak Boleh Hilang.
DI Aceh Tamiang, adat dan kebudayaan tidak sekadar seremonial, tetapi fondasi kehidupan. Mulai dari sistem pemerintahan kampung, tradisi duduk setikar, kenduri blang, sampai ritual tepung tawar untuk menyucikan niat pada pernikahan dan hajat besar masyarakat—semuanya masih berjalan meski tidak sekuat dulu.
Namun dalam satu dekade terakhir, modernisasi, urbanisasi, serta minimnya pewarisan tradisi membuat sejumlah budaya Tamiang perlahan memudar. Banyak anak muda lebih mengenal budaya luar ketimbang akar budayanya sendiri.
“Anak-anak sekarang banyak yang tidak tahu lagi kalau Tamiang punya tari, punya bahasa sendiri. Padahal itu identitas kita,” kata Zainab, pelaku seni tradisi di Seruway, saat ditemui di sela latihan.
Ia mengaku sering mengajar tari tradisional hanya dengan segelintir peserta. “Kadang yang datang Cuma dua orang. Tapi saya tetap ajar. Yang penting hidup dulu, baru kita kuatkan kembali,” ujarnya.
Rumah Adat yang Menyimpan Sejarah.
TIDAK jauh dari pusat kota Kuala Simpang, berdiri beberapa rumah panggung tua di kampung-kampung tua seperti Bandar Khalifah dan Manyak Payed.
Rumah-rumah kayu itu dulu adalah pusat kehidupan—tempat musyawarah, menerima tamu, bahkan tempat berlangsungnya tradisi tepung tawar jika ada warga yang hendak membuka lahan sawah.Namun banyak dari rumah adat itu kini mulai lapuk. Sebagian roboh karena usia, sebagian hilang karena pembangunan modern yang menggantikan kayu dengan beton. Hanya sedikit keluarga yang bertahan menjaga rumah warisan itu.
“Rumah nenek ini sudah berdiri lebih dari seratus tahun. Sayang kalau hilang,” ujar Hasanuddin, salah seorang pewaris rumah adat. Namun ia mengaku kesulitan merawat karena biaya yang tidak sedikit.
Pemerintah Daerah Mulai Bergerak.
MELIHAT kondisi tersebut, Pemkab Aceh Tamiang mulai memperkuat sektor kebudayaan melalui kegiatan revitalisasi, inventarisasi tradisi, hingga festival budaya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tamiang, Drs. Sepriyanto, menegaskan bahwa pelestarian budaya bukan hanya program, tetapi tanggung jawab moral pemerintah dan masyarakat.
Pernyataan Drs. Sepriyanto. “Kebudayaan Tamiang adalah identitas kita. Kalau warisan ini hilang, maka hilang pula jati diri masyarakat Aceh Tamiang. Karena itu, kami sedang melakukan pendataan lengkap terhadap adat, seni, rumah tradisional, sampai bahasa Tamiang.”
Ia menambahkan bahwa tahun depan dinas akan memperkuat pembinaan sanggar seni dan mengintegrasikan muatan lokal budaya Tamiang dalam pendidikan sekolah.
“Anak-anak harus mengenal adat istiadat mereka sendiri. Kami mendorong sekolah untuk memasukkan bahasa Tamiang, sejarah desa, dan kesenian tradisional sebagai muatan lokal agar generasi mendatang tidak tercerabut dari budayanya.”
Selain itu, pemerintah berencana mengadakan Festival Budaya Tamiang secara rutin untuk memperlihatkan keragaman adat seperti tepung tawar, kenduri blang, dan pertunjukan seni rakyat.
“Tamiang ini kaya sekali. Ada pantun, syair, tari, musik tradisi. Tugas kita menampilkan itu kembali ke ruang publik,” katanya.
Upaya Komunitas dan Generasi Muda.
BANGKITNYA kesadaran budaya tidak hanya ditopang pemerintah. Komunitas dan pemuda turut mengambil peran penting. Di beberapa kampung, komunitas budaya mulai tumbuh: Komunitas Gendang Panjang Tamiang di Manyak Payed; Sanggar Ratéb Tamiang di Seruway; Komunitas Pelestari Pantun dan Syair di Tenggulun dan Gerakan Rumah Sejarah Tamiang oleh sejumlah akademisi muda.
Mereka menggelar pelatihan tari, dokumentasi sejarah lisan, hingga membuat konten budaya di media sosial. Bagi generasi muda, budaya bukan sekadar masa lalu, tetapi aset yang bisa mengangkat identitas Tamiang hingga ke tingkat nasional.
“Seni Tamiang unik sekali. Kalau kita kemas dengan baik, bisa jadi daya tarik wisata budaya,” kata Aulia, seorang mahasiswa yang tergabung dalam komunitas Rumah Sejarah Tamiang.
Harapan di Bawah Pohon Warisan.
DI Kampung Simpang Kiri, sekelompok anak dari sanggar seni sedang berlatih pantun. Mereka tertawa malu-malu saat mencari rima, namun wajah mereka tampak antusias. Mereka seperti benih baru yang tumbuh di tanah lama [tanda bahwa warisan itu belum sepenuhnya hilang].
Disinilah harapan muncul Adat dan budaya Aceh Tamiang bukan sesuatu yang mati, tetapi sesuatu yang menunggu dipulihkan. Ia hanya membutuhkan tangan-tangan yang mau merawatnya.
Menutup pembicaraannya, Drs. Sepriyanto mengatakan; “Budaya Tamiang akan bertahan selama masyarakatnya mau menjaga. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Ini warisan nenek moyang yang harus kita jaga bersama.”
Dan pagi itu, ketika gendang panjang kembali ditabuh, Aceh Tamiang seperti menemukan kembali nadinya. Pelan, tetapi pasti—budaya itu hidup kembali.(S004)















