Banda Aceh. RU – LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menilai Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh saat ini sedang membangun industri buzzer.
“Kalau Pemko membangun industri buzzer maka kondisi ke depan tidak baik-baik saja. Warga disuguhi dengan berita pencitraan oleh buzzer, padahal ekonomi warga dalam keadaan sulit,” kata Koordinator MaTA, Alfian, Selasa (09/09/2025).
Pernyataan itu disampaikan oleh Alfian merespon adanya pengadaan sebesar Rp679 juta oleh Pemko Banda Aceh melalui Dinas Komunikasi, Informasi dan Statistika untuk jasa pembuatan dan publikasi konten di media sosial.
“Muncul anggaran untuk mengelola konten medsos sebesar Rp679 juta. ini angka yang besar dan Pemko menjadikan industri buzzer di Kota Banda Aceh,” ujar Alfian.
Seharusnya, kata Alfian, Pemko Banda Aceh fokus menyelesaikan permasalahan perekonomian untuk bisa bangkit. Karena, berita buzzer tidak dapat disimpulkan kebenarannya, melainkan hanya sebatas pencitraan.
Sebelumnya, Juru Bicara Pemerintah Kota Banda Aceh Tomi Mukhtar membantah anggaran itu digunakan untuk membiayai buzzer atau pendengung di media sosial, melainkan hanya kolaborasi dengan influencer.
“Pemko Banda Aceh tidak pernah bekerja sama atau menggunakan jasa individu atau kelompok buzzer dalam menjalankan komunikasi publik,” kata Tomi Mukhtar dalam keterangannya, Senin (08/09/2025) malam.
Selain itu, Alfian juga menyoroti persoalan lainnya, ia menilai pengelolaan anggaran Pemko Banda Aceh masuk dalam kategori boros, dan hal ini muncul sejak alokasi untuk pengadaan mobil dinas Wali Kota sebesar Rp3 miliar.
Melihat kondisi ini, Alfian menilai tidak ada efisiensi anggaran di sana, padahal kondisi fiskal Pemko Banda Aceh dalam keadaan kacau.
“Jadi berlaku efisiensi anggaran hanya pada sektor yang terima oleh kebutuhan publik semata, akan tetapi untuk fasilitas eksekutif dan legislatif normal seperti anggaran tahun sebelumnya,” katanya.
Alfian menambahkan, seharusnya, kepekaan atas ekonomi warga kota yang sulit tahun ini menjadi pertimbangan pejabat Pemko untuk tidak hidup mewah dengan fasilitas hasil pajak rakyat.
“Tapi saat ini, Pemko malah menekan warga untuk bayar pajak sampai ke level gampong (desa), dan itu kebijakan yang sangat menjajah, sementara mereka (pejabat) hidup mewah dengan fasilitas dan begitu juga untuk pencitraannya,” ujarnya.
Di sisi lain, Alfian juga menyoroti 30 anggota DPRK Banda Aceh, seharusnya mereka peka dalam pengesahan anggaran dengan kondisi ekonomi warga. Bukan, malah ikut menikmatinya.
“Kondisi ini tidak patut untuk dibiarkan begitu saja. Warga kota harus kritis sehingga kita tidak dijadikan sebagai sapi perah oleh mereka melalui pajak,” pungkas Alfian.(TH05)