Petani Sawit Protes PKS tanpa HGU Gunakan Skema Kemitraan dalam Penetapan Harga TBS

PKS di Abdya
Pekerja membongkar TBS kelapa sawit di pabrik PT Mon Jambe, Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya. (Foto: ANTARA)

Blangpidie. RU – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) memprotes pihak Pabrik Kelapa Sawit (PKS) tanpa Hak Guna Usaha (HGU) menggunakan skema kemitraan plasma dalam penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS), sehingga merugikan petani.

Ketua Apkasindo Abdya, Muazam, mengatakan PKS dimaksud yakni yang dikelola PT Samira Makmur Sejahtera (SMS) dan PT Mon Jambe.

Menurut Muazam, meski tidak memiliki HGU, kedua PKS ini menggunakan skema kemitraan plasma dalam penetapan harga TBS milik petani mandiri setempat.

“Padahal mereka tidak punya HGU, tidak ada kebun inti, tapi menggunakan istilah plasma untuk menentukan harga. Ini tidak adil bagi petani mandiri,” kata Muazam dikutip Rabu (15/10/2025).

Ia menyampaikan, kedua pabrik tersebut selama ini beroperasi dengan mengandalkan pasokan dari kebun rakyat, bukan kebun inti sebagaimana mestinya sesuai pola kemitraan plasma.

Apalagi, kata Muazam, harga TBS yang dibeli oleh kedua pabrik tersebut berada jauh di bawah harga yang telah ditetapkan Pemerintah Aceh.

Di mana, PT SMS membeli TBS petani mandiri seharga Rp2.950 per kilogram, sedangkan PT Mon Jambe membeli seharga Rp2.970 per kilogram.

Padahal, harga resmi untuk sawit usia 10–20 tahun yang ditetapkan Pemerintah Aceh saat ini mencapai Rp3.400 per kilogram.

“Selisihnya mencapai Rp450 per kilogram. Ini sangat merugikan petani, apalagi mereka tidak terikat dalam kemitraan resmi,” ujarnya.

Karena itu, Apkasindo Abdya mendesak pemerintah daerah dan instansi terkait untuk segera melakukan evaluasi terhadap legalitas operasional kedua pabrik tersebut.

Sehingga istilah “plasma” tidak disalahgunakan untuk menekan harga TBS petani mandiri.

Ia menegaskan, jangan sampai istilah plasma dijadikan tameng untuk praktik yang tidak sesuai regulasi.

“Petani menanam di lahan sendiri, beli bibit dan pupuk secara mandiri. Maka seharusnya, pabrik membeli dengan harga sesuai ketetapan Pemerintah Aceh,” tukasnya.(TH05)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *