Pemerintah Aceh Perlu Tetapkan Areal Preservasi untuk Penanganan Konflik Satwa

Pemerintah Aceh Perlu Tetapkan Areal Preservasi untuk Penanganan Konflik Satwa
banner 120x600
banner 468x60

Banda Aceh. RU – Konflik manusia-satwa liar khususnya gajah, hingga kini masih menjadi persoalan yang sulit diselesaikan oleh pemerintah. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat, sejak 2020 sampai November 2024, gajah sumatera yang ditemukan mati mencapai 36 individu.

Di tingkat nasional, pemerintah melalui Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial (BPEE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebelumnya sudah menyusun Rencana Strategis 2020-2024.

Dengan target; bertambahnya luas kawasan sebagai penyediaan data, informasi dan rencana konservasi nasional di luar kawasan konservasi hingga 43 juta hektare, serta meningkatkan jumlah dan efektivitas pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial hingga 55 unit KEE di seluruh Indonesia.

Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) yang dimaksud adalah kawasan di luar Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru yang secara ekologis penting bagi keanekaragaman hayati. KEE ini diharapkan bisa melindungi habitat dan meminimalisir konflik manusia-satwa liar yang terjadi di luar kawasan konservasi.

“Renstra BPEE 2020-2024 ini tidak berjalan maksimal dan sempat mengalami perubahan. Salah satu penyebabnya diduga karena terbentur UU Nomor 23 tentang Pemerintah Daerah. Dimana dalam pembagian urusan pemerintahan bidang kehutanan terutama dalam hal sub-urusan perencanaan dan pengelolaan hutan, hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sedangkan pemerintah daerah khususnya pemerintah kabupaten/kota sama sekali tak punya wewenang. Sehingga wajar jika Pemkab/Pemko selalu bersikap buang badan untuk urusan konflik satwa di daerahnya,” kata seorang pegiat lingkungan di Aceh kepada Rahasia Umum, Selasa, 4 Februari 2025 lalu.

Demi memperbaiki tata kelola Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (SDAHE) ini, pemerintah kemudian mengubah sebagian isi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan melahirkan UU Nomor 32 tentang Perubahan UU Nomor 5 Tahun 1990, yang disahkan Presiden Joko Widodo pada 7 Agustus 2024. Dan penyebutan Kawasan Ekosistem Esensial pun diganti dengan istilah Areal Preservasi.

Istilah Areal Preservasi ini disisipkan dalam pasal 5A undang-undang tersebut, yang kemudian dalam pasal lainnya dijelaskan bahwa Areal Preservasi adalah areal di luar Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil yang dipertahankan kondisi ekologisnya untuk mendukung fungsi penyangga kehidupan ataupun kelangsungan hidup Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (SDAHE).

Itu artinya, areal preservasi ini akan menjadi domain pemerintah daerah untuk mengelolanya, karena berada di luar kawasan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Untuk memperjelas kewenangan, ketentuan Pasal 4 pun turut diubah, sehingga berbunyi; Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta masyarakat.

Sementara terkait pendanaan, dijabarkan dalam Pasal 36A yang menyebutkan; Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya bertanggungjawab menyediakan pendanaan yang memadai untuk kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang berasal dari APBN dan APBD, serta sumber lainnya yang sah.

Bentuk dari areal preservasi itu selanjutnya dijabarkan dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) yang menjelaskan bahwa Areal Preservasi dimaksud dapat berupa; daerah penyangga Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil, koridor ekologis atau ekosistem penghubung, areal dengan nilai konservasi tinggi, areal konservasi kelola masyarakat, dan/atau daerah perlindungan kearifan lokal.

“Areal preservasi itu nantinya dapat berbentuk koridor ekologis atau ekosistem penghubung bagi satwa liar terisolir yang biasanya menjadi penyebab satwa turun ke permukiman, sehingga berkonflik dengan manusia. Kita berharap ini bisa menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi konflik satwa termasuk di Aceh,” kata Ujang Wisnu Barata, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Kamis (13/02/2025).

Ia menjelaskan, koridor ekologis atau ekosistem penghubung ini adalah jalur alami ataupun buatan yang menghubungkan dua atau lebih habitat dan/atau populasi satwa yang berada di dalam dan di luar Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Di areal itu nantinya juga perlu dilakukan pembinaan habitat sehingga satwa dapat hidup dan berkembang secara alami, serta mencegahnya turun ke perkampungan.

“Di Aceh, konflik satwa-manusia lebih banyak disebabkan karena terfragmentasinya kawasan. Karena itu kami mendukung Pemerintah Aceh agar areal preservasi dalam bentuk koridor satwa ini bisa segera ditetapkan, dibarengi dengan penerapan bio-barrier, power fencing, dan penguatan Satgas Penanggulangan Konflik Satwa. Sehingga konflik manusia-satwa liar di Aceh, khususnya yang terjadi di luar kawasan konservasi, bisa tertangani secara lebih efektif,” ujarnya.(TH05)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *