Banda Aceh. RU – Komunitas Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf (IKHW) menilai bencana banjir dan longsor yang berulang di Aceh dan sejumlah wilayah Sumatra bukan sekadar peristiwa alam, melainkan cerminan krisis ekosistem dan kegagalan serius kebijakan negara dalam tata kelola lingkungan.
“Situasi ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin hak dasar warga atas keselamatan, perlindungan, dan lingkungan hidup yang sehat,” tulis komunitas IKHW dalam rilis kesimpulan diskusi yang digelar Selasa malam, 23 Desember 2025.
IKHW menilai, bencana banjir besar ini terjadi akibat akumulasi kesalahan tata ruang, perusakan daerah aliran sungai (DAS), ekspansi perkebunan monokultur dan pertambangan, serta lemahnya penegakan hukum lingkungan.
Komunitas ini juga sudah mendesak Presiden RI segera melaksanakan rekomendasi Muzakarah Ulama Aceh pada 14 Desember 2025 lalu.
“Rekomendasi yang lahir antara lain menetapkan bencana Aceh dan Sumatra sebagai bencana nasional, membuka akses bantuan internasional, memastikan penanganan bencana yang objektif dan tidak politis, serta menindak tegas pelaku perusakan lingkungan,” tulis IKHW.
Anggota komunitas, Ivan Krisna menegaskan Aceh dan Sumatra tidak layak dipaksakan menjadi wilayah monokultur, khususnya sawit.
Ia menyebut alih fungsi hutan dan kebun karet dengan sawit, seperti menciptakan “wadah kecil dengan limpasan air raksasa”.
“Sungai yang seharusnya menjadi indikator kesehatan ekosistem justru memperlihatkan endapan rusak dan fungsi ekologis yang runtuh,” katanya.
Menurutnya, melawan banjir dengan infrastruktur semata adalah pendekatan keliru.
Hal yang diperlukan adalah membangun kembali keseimbangan ekosistem, dengan menjadikan DAS sebagai basis utama kebijakan tata ruang, serta melindungi jalur sungai purba sebagai bagian tak terpisahkan dari mitigasi bencana.
Kegagalan kebijakan tata ruang Aceh ini disebut telah berlangsung lama yang terlihat dari dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tidak berbasis DAS serta diabaikannya buffer ekologis berupa kebun campuran, bahkan di tengah tekanan konversi hutan lindung.
“Ironisnya, di tengah kawasan budidaya yang sudah sangat luas, masih terdapat dorongan konversi hutan lindung,” katanya.
Ia menegaskan pentingnya redesain kawasan hutan, termasuk mengakui fakta bahwa banyak hutan berada di luar kawasan hutan negara dan memerlukan koordinasi serius antara BPN dan DLHK.
Tanpa tim tata ruang yang dinamis dan multi stakeholder, Aceh akan terus berjalan menuju bencana berikutnya.
Anggota komunitas lainnya bernama Affan yang merupakan seorang praktisi hukum, juga menyebut pemerintah berada dalam kondisi “kesepian gagasan” di tengah maraknya alat berat yang beroperasi di kawasan hutan.
Menurutnya, momentum bencana harus dimanfaatkan untuk mendorong pemulihan ekosistem dan advokasi hukum secara serius.
Sebagai tindak lanjut, Komunitas Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf bersama elemen masyarakat sipil menuntut evaluasi total izin sawit dan tambang di Aceh, moratorium sawit dan pertambangan hingga daya dukung ekosistem pulih, peninjauan ulang RTRW berbasis DAS, pemetaan seluruh DAS dengan minimal 30 persen tutupan hutan, serta perlindungan sungai purba sebagai infrastruktur ekologis alami.
“Bencana ini adalah cermin. Yang dipertaruhkan bukan hanya kebijakan, tetapi masa depan Aceh dan Sumatra,” tegas IKHW dalam pernyataan sikap tersebut.(TH05)















