“Saya tegaskan, tidak benar ada masyarakat Aceh Tamiang yang hari ini kelaparan. Pemerintah bersama TNI, Polri, dan para pendonor menyalurkan sembako lewat jalur sungai. Sejak banjir datang sampai sekarang, saya ada bersama masyarakat dan tidak keluar dari Aceh Tamiang.” [Irjen Pol (P) Drs Armia Pahmi, SH. Bupati Aceh Tamiang]
ACEH TAMIANG, Logistik Tak Boleh Putus Meski Jalan Runtuh
Banjir dan longsor memutus urat nadi Aceh Tamiang. Jalan tertimbun tanah, jembatan ambruk, dan sejumlah kampung terisolir di tengah kepungan air.
Dalam situasi darurat seperti itu, satu pertanyaan paling mendasar muncul di benak publik: apakah bantuan sembako benar-benar sampai ke warga?
Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang menjawabnya dengan satu penegasan tegas; distribusi bantuan tidak pernah terhenti.
“Tidak benar ada masyarakat Aceh Tamiang yang hari ini kelaparan karena tidak mendapat sembako,” tegas Bupati Aceh Tamiang, Irjen Pol (P) Drs. Armia Pahmi, MH, kepada rahasiaumum.com, Senin, 22 Desember 2025, dari Karang Baru.
Penegasan ini penting di tengah beredarnya kabar simpang siur tentang kampung-kampung yang disebut tak tersentuh bantuan. Bagi pemerintah daerah, memastikan pangan sampai ke dapur warga bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan soal kemanusiaan.

Ketika Jalan Putus, Sungai Bergerak
Aceh Tamiang bukan wilayah asing dengan sungai. Sungai Tamiang sejak lama menjadi jalur transportasi tradisional bagi masyarakat. Ketika bencana memutus akses darat, sungai kembali memainkan peran vitalnya.
Meski sejumlah kampung terputus akibat longsor, dikepung air, dan jembatan ambruk, pemerintah daerah tidak menunggu jalan pulih untuk menyalurkan bantuan. Jalur air diaktifkan sebagai alternatif utama.
“Selain jalur darat, ada jalur lain melalui sungai. Itu yang kami manfaatkan agar bantuan tetap sampai,” kata Armia.
Perahu mesin, sampan warga, serta armada sungai dikerahkan bersama TNI, Polri, relawan, dan pendonor. Karung beras, minyak goreng, telur, dan bahan pangan pokok diangkut menyusuri alur sungai menuju kampung-kampung yang tak bisa dijangkau kendaraan.
Dalam kondisi darurat, sungai menjadi jalur terakhir yang menyelamatkan.

DISTRIBUSI TIDAK BERGANTUNG SATU AKSES
MENURUT Armia, distribusi sembako tidak boleh terpaku pada satu jalur. Selama masih ada akses alternatif—baik sungai maupun udara—pemerintah tetap berupaya menjangkau warga terdampak.
“Pendistribusian sembako ke kampung-kampung tidak terlalu mengikat pada akses yang terisolir. Selama ada alternatif, bantuan tetap bisa dilakukan,” ujarnya.
Ia juga mengakui bahwa jika seluruh akses benar-benar tertutup—sungai tidak bisa dilalui dan udara tidak memungkinkan—barulah potensi keterlambatan bisa terjadi. Karena itu, pembukaan akses darat menjadi pekerjaan paralel yang terus dikebut.

ALAT BERAT DAN MEDAN YANG TAK BERSAHABAT
DI SEJUMLAH titik longsor, alat berat telah dan sedang diturunkan. Excavator, bulldozer, dan scopel bekerja membersihkan timbunan tanah, batu, serta pohon tumbang yang menutup jalan menuju kampung-kampung terisolir.
Sebagian akses sudah mulai terbuka, sebagian lainnya masih dalam proses. Medan berat, struktur tanah labil, dan cuaca yang belum stabil membuat pekerjaan berlangsung bertahap.
“Wilayah kampung terdampak longsor sudah didatangkan alat berat untuk membersihkan area itu,” kata Armia.
Baginya, kerja pemulihan bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga keikhlasan dan kesungguhan.
“Kalau dikerjakan dengan rasa ikhlas dan hati, insya Allah hasilnya juga baik,” ujarnya.

KAMPUNG YANG DISEBUT, KAMPUNG YANG DIJANGKAU
NAMA-nama kampung terdampak parah berulang kali disebut dalam laporan kebencanaan: Sekumur, Baling Karang, Juar, Sulum, Pematang Durian, dan Tanjung Glumpang. Wilayah-wilayah ini mengalami dampak paling berat dan sempat terisolir.
Namun Armia memastikan, seluruh kampung tersebut sudah menerima distribusi sembako.
“Kampung-kampung terdampak sangat parah itu seluruhnya sudah mendapat asupan distribusi sembako. Bahkan berkecukupan pasokannya,” tegasnya.
Pernyataan ini menjadi bantahan langsung terhadap isu yang menyebut adanya warga yang sama sekali tidak tersentuh bantuan. Pemerintah daerah menegaskan bahwa kebutuhan dasar warga menjadi prioritas utama sejak hari pertama bencana.
Menerjang Banjir Demi Komunikasi
Di balik kerja distribusi logistik, ada cerita lapangan yang menggambarkan kondisi krisis secara nyata. Armia mengenang momen ketika banjir masih tinggi dan komunikasi nyaris terputus.
“Saya menerjang air sungai untuk bisa menembus Prabu Residence Paya Bedi ke kantor ORARI,” katanya.
Tujuannya satu; membuka jalur komunikasi dengan pemerintah provinsi dan pusat agar bantuan segera mengalir ke Aceh Tamiang.
Saat itu, ia tidak tampil sebagai pejabat dengan fasilitas lengkap.
Armia hanya mengenakan kain sarung dan kaos oblong hitam, pakaian yang diberikan warga setelah melihatnya basah kuyup dan berlumpur di Prabu Residence.
Momen itu menjadi potret kepemimpinan di tengah krisis—ketika sekat antara pejabat dan rakyat nyaris tak ada.
PEMIMPIN YANG IKUT MERASAKAN DAMPAK
ARMIA juga secara terbuka menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Aceh Tamiang atas keterlambatan penanganan banjir dan pasca-banjir. Ia mengakui bahwa dirinya pun terdampak langsung.
“Rumah saya tenggelam, barang-barang di rumah juga hancur di Bukit Tempurung,” ujarnya.
Namun sebagai kepala daerah, ia menegaskan tidak bisa berhenti pada urusan pribadi. Ia memilih berada di garis depan untuk memastikan bantuan dari provinsi dan pusat dapat segera sampai.
“Saya sama seperti bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Tapi sebagai pemimpin, saya harus berada di depan,” katanya.
NEGARA DI ATAS PERAHU
BANJIR dan longsor akan surut. Jalan akan dibuka kembali. Namun ingatan warga Aceh Tamiang tentang hari-hari ketika perahu mengantar beras ke kampung-kampung terisolir akan bertahan lama.
Dalam bencana ini, sungai kembali menjadi saksi kehadiran negara. Negara tidak selalu hadir dalam bentuk jalan mulus atau jembatan kokoh, tetapi kadang hadir di atas perahu kecil, di tengah arus deras, dan pada pemimpin yang memilih basah bersama rakyatnya.
Ukuran keberhasilan penanganan bencana pada akhirnya sederhana: apakah rakyat dibiarkan lapar ketika akses terputus?
Di Aceh Tamiang, pemerintah daerah memilih memastikan jawabannya: tidak.(S004)















