Uniknya Kenduri Bungong Kayee, Tradisi Masyarakat Aceh yang Masih Dilestarikan

kenduri bungong kayee
Sejumlah warga Gampong Lhang, Kecamatan Setia, Kabupaten Abdya melakukan Samadiyah saat melaksanakan kenduri bungong kayee di kaki bukit di gampong setempat. (Foto: Dok warga)

Banda Aceh. RU – Aceh tidak hanya memiliki sejumlah destinasi wisata eksotik, tapi juga budaya yang unik yang hidup dalam tradisi masyarakatnya.

Salah satu tradisi yang menggambarkan interaksi manusia dan alam yang masih dilakukan hingga saat ini yakni kenduri bungong kayee (kenduri bunga kayu) dengan menyajikan kuliner bubur kanji.

Perayaan/kenduri ini biasanya dilakukan masyarakat di bulan Jumadil Akhir setiap tahunnya, khususnya oleh masyarakat di wilayah pantai barat-selatan Aceh.

Jika kebetulan Anda mengunjungi Aceh pada waktu tersebut, aktivitas budaya ini menjadi salah satu daya tarik wisata yang memberikan pengalaman baru bagaimana masyarakat menghargai dan mensyukuri hasil alam yang menjadi sumber kehidupan.

Masyarakat Aceh biasanya menggelar tradisi kenduri ini ketika pohon kayu sedang berbunga, seperti pada pohon rambutan, pohon langsat, pohon durian, dan sebagainya.

Menurut Guru Besar Antropologi UIN Ar-Raniry, Prof Abdul Manan tradisi ini bertujuan mendoakan pepohonan agar bunganya tidak gugur atau diserang hama.

“Kemudian buah dari pohon kayu tersebut diharapkan memberikan manfaat dan rezeki untuk manusia,” ujarnya.

Dalam praktiknya, terdapat dua model pelaksanaan kenduri ini.

Ada yang melaksanakannya secara ramai di masjid kampung, dan ada juga yang menggelarnya secara individu atau sebatas keluarga saja.

Biasanya setiap keluarga yang memiliki kebun buah-buahan akan melakukan ritual, dimana ayah selaku kepala keluarga akan membawa sebuah panci yang berukuran sedang dengan beras dan kayu bakar.

Ibu akan membawa santan, gula, garam, dua ember besar, dan sebuah gayung.

Anak laki-lakinya membawa sebuah talam yang berisikan, tempat air, mangkuk plastik, dan gelas.

Sedangkan anak perempuannya membawa tikar duduk dan sapu tangan.

Alat-alat ini akan digunakan untuk memasak bubur kanji yang bahannya terdiri dari beras biasa, santan, dan air.

Setelah bubur ini masak, lalu dihidangkan dengan memanggil beberapa anak-anak untuk ikut menyantap.

Sebelum memakan bubur, anak-anak duduk melingkar dan bubur tanpa gula dan garam ditempatkan di tengah.

Kepala keluarga kemudian membacakan samadiyah dan beberapa ayat Al-Quran.

Dalam filosofi orang Aceh, mengundang anak-anak dalam acara kenduri semacam ini akan menambah keberkahan karena anak-anak masih bebas dari dosa dan tidak bersalah layaknya seorang malaikat.

Setelah itu dilakukan pembacaan doa yang terdiri atas empat bagian, yaitu memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, memohon dihindarkan dari bencana, meminta ampun atas dosa-dosa, dan memohon agar doanya diterima.

Setelah selesai pembacaan doa, barulah bubur yang telah masak tadi dikonsumsikan dan sebagian akan dituangkan ke akar-akar pohon yang sedang berbunga tadi.

Air dari bubur yang dituangkan akan dihisap dan mengalir melalui akar ke batang, melalui cabang ke tangkai bunga dan seterusnya.

Hal ini dipercayai bahwa bubur tersebut dapat mencegah bunga pohon gugur sebelum menjadi buah.

Masyarakat biasanya juga melakukan prosesi peusijuek (tepung tawar) pada pohon dengan menyiapkan beberapa bahan seperti segenggam ketan kuning, kelapa parut, gula aren, dan dedaunan yang akan digunakan sebagai alat menepungtawari seluruh bagian pohon.

Keseluruhan prosesi dilakukan dengan harapan agar bunga pohon akan menjadi rezeki untuk pemilik pohon dan masyarakat umumnya.

Lain halnya bila kenduri bungong kayee ini diselenggarakan secara bersama-sama oleh warga desa.

Mereka biasanya memasak bubur kanji dalam wajan yang besar dengan bahan yang sama, yaitu beras biasa, kelapa, dan gula.

Bahan-bahan ini diperoleh dari hasil meuripe atau patungan masyarakat yang memiliki pohon kayu untuk dipeusijuek.

Perayaannya dilakukan dengan membaca samadiyah dan diakhiri dengan doa oleh teungku (pemimpin agama) beserta masyarakat yang hadir.

Rangkaian acara dilanjutkan dengan memakan bubur secara bersama-sama, dimana anak-anak dan para teungku menjadi yang pertama kali dilayani.

Setelah makan bubur, penduduk desa yang pohonnya sedang berbunga mengambil bubur yang tanpa garam dan gula dan membawa bubur tersebut ke kebun mereka masing-masing.

Di kebun, mereka menuangkan sedikit bubur ke dasar pohon yang sedang berbunga.

Bubur yang lainnya dituangkan pada batang, cabang, daun, dan bahkan pada bunga.

Masyarakat Aceh menyebut prosesi ini sebagai peuphon taweuebak atau peusijuk bak kayee.

Pada prinsipnya, masyarakat Aceh melakukan tradisi ini agar kesuburan pohon tetap terjaga, dan meyakini bahwa kesuburan pohon tergantung pada pelaksanaan ritual sosial bersama, atas rahmat Allah dan penghormatan terhadap hukum adat.

Begitulah, prosesi kenduri bungong kayee yang sampai saat ini masih dilaksanakan masyarakat di beberapa wilayah di Aceh seperti kabupaten Aceh Barat, Aceh Barat Daya (Abdya), Aceh Selatan dan beberapa daerah lainnya di wilayah barat-Selatan Aceh.(TH05)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *