Bireuen. RU – Kejaksaan Negeri (Kejari) Bireuen, menyelesaikan penuntutan sebanyak 12 perkara melalui keadilan restoratif atau restorative justice sepanjang Januari hingga Oktober 2025.
Kepala Kejari Bireuen Munawal Hadi mengatakan, penyelesaian penuntutan perkara berdasarkan keadilan restoratif setelah para pihak, baik korban maupun tersangka berdamai dan tidak lagi saling menuntut.
“Sepanjang tahun ini atau sejak Januari hingga Oktober 2025, ada sebanyak 12 perkara diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif. Perhentian penuntut belasan perkara tersebut setelah mendapat persetujuan Kejaksaan Agung,” kata Kajari Bireuen itu, dikutip Rabu (29/10/2025).
Sebelumnya, Kejari Bireuen berupaya mendamaikan 15 perkara berdasarkan keadilan restoratif.
Namun, tiga perkara gagal diselesaikan berdasarkan keadilan karena kendala teknis.
Dengan demikian, hanya 12 perkara yang diajukan dan disetujui penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum atau Jampidum.
Munawal Hadi mengatakan sebagian besar perkara yang penuntutannya dihentikan tersebut merupakan kasus penganiayaan yang masuk kategori tindak pidana ringan.
Dengan dihentikannya penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, maka penyelesaian perkara tidak lagi dilakukan melalui proses persidangan di pengadilan, tetapi diselesaikan melalui perdamaian parapihak.
“Penghentian penuntutan perkara berdasarkan keadilan restoratif ini merupakan tindak lanjut program Jaksa Agung, di mana penyelesaian sebuah perkara tidak harus melalui proses peradilan atau persidangan di pengadilan,” katanya.
Ia menjelaskan, syarat penghentian penuntutan perkara yang harus dipenuhi, yakni pelaku dan korban sudah berdamai.
Selanjutnya pelaku membuat pernyataan tidak mengulangi perbuatannya dan korban tidak akan menuntut.
Syarat berikutnya, pelaku baru pertama melakukan tindak pidana atau bukan residivis atau orang yang pernah dipidana.
Serta, perdamaian para pihak juga harus disaksikan para tokoh masyarakat dan keluarga korban.
“Penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif tersebut sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Aceh. Penghukuman pelaku dalam sebuah perkara adalah upaya terakhir,” kata Munawal Hadi.(TH05)















