Kualasimpang. RU – Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari) Aceh Tamiang, bongkar kasus penjarahan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP) Mangrove Alur Cina dan Alur Durhaka, di Kampung (Desa) Kuala Genting, kecamatan Bendahara. Minggu, 3 Agustus 2025 lalu banyak kejanggalan dibalut dengan kepentingan.
Alibi itu kuat sekali, pada pemberitaan di awal, LembAHtari sudah mengusulkan untuk membentuk tim Satuan Tugas (Satgas) Gabungan yang melibatkan unsur Pemerintah Aceh Tamiang sebagai wilayah hukumnya, Ditjend KLHK Pusat dan Balai Gakkum KLHK Sumatera Utara, BKSDA Aceh, KPH Wilayah III Langsa, Polres Aceh Tamiang dan elemen terkait lainnya.
Kenyataannya, pihak Balai Gakkum KLHK Sumatera Utara dan KPH Wilayah III melakukan pemasangan Plank tidak mengikutsertakan LembAHtari [Lembaga Lingkungan yang membongkar perambahan hutan mangrove].
Anehnya, kenapa pada saat LembAHtari mengetahui ada pembabatan HL dan HP Mangrove di wilayah Kuala Genting dan membongkar kejahatan lingkungan, baru kemudian Balai Gakkum KLHK Sumatera Utara dan KPH Wilayah III Langsa bereaksi dengan memasang plank peringatan. Sebelumnya di mana?, apakah tidur lelap?.
Apakah mereka [Balai Gakkum KLHK Sumatera dan KPH Wilayah III] jauh sebelum kejahatan lingkungan ini dibongkar LembAHtari, tidak tahu? Atau pura-pura tidak tahu? Dan atau takut menindaknya?.
Kalau keberadaan LembAHtari membatu pihak mereka kenapa tidak dilibatkan?, Legacy LembAHtari jangan menjadi tamsil ‘Lembu punya susu, kambing yang punya nama’ seharusnya mereka malu pada apa yang ditemukan LembAHtari.
Sejatinya pihak mereka yang membongkar kejahatan lingkungan tersebut, sebelum lembaga LembAHtari menemukan kejahatan tersebut.
Sepertinya Balai Gakkum KLHK Sumatera dan KPH Wilayah III mengenyampingkan kearifan lokal, atau sengaja telah terjadi upaya menutup nutupi kasus ini, sebab indikasi kejanggalannya besar sekali.
Tidak hanya LembAHtari, tapi juga Komunitas Jurnalis Lingkungan (KJL) Aceh Tamiang mengecam keras tindakan dilakukan Balai Gakkum KLHK Sumatera dan KPH Wilayah III Langsa telah mengkerdilkan Pemerintah Aceh Tamiang dan kearifan lokal.
Lembahtari Prihatin dengan upaya Penghentian Pembabatan kawasan Ekosistem Manggrove di Kuala Genting di Sekitar Alur China dan Durhaka Kecamatan Bendahara Aceh Tamiang dalam kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi mencapai 900 hektar alih fungsi menjadi Kebun Sawit secara Ilegal oleh Mafia Tanah/Kebun Sawit di Pesisir Aceh Tamiang, pada kordinat 1). 4°27’13’’ N 98°13’25’’E , 2). 4°27’20’’N 98°13’25’’E , 3). 4°27’04’’N 98°12’15’’E 4). 4°26’55’’N 98°12’24’’E 5). 4°26’53’’N 98°12’38’’E.
Demikian Direktur Eksekutif LembAHtari. Sayed Zainal M, SH menjelaskan kekecewaannya pada wartawan. Jumat, 15 Agustus 2025 dari Karang Baru.
Bahwa Pembabatan Hutan Manggrove di Sekitar Alur China dan Alur Durhaka sudah berlangsung hampir 1 tahun lebih dengan membuat tanggul-tanggul (Bedeng) berfungsi untuk menutup alur-alur kecil serta sudah mendekati ke arah muara Kuala Bening serta Kuala Peunaga.
Di mana muara Kuala Bening dan Kuala Peunaga merupakan daerah sedimen tinggi di Aceh Tamiang, penyebab menahan lambatnya aliran air sungai Tamiang dan berpotensi banjir di wilayah Aceh Tamiang saat musim curah hujan tinggi. Dari titik lokasi pembabatan, ditemukan tanaman sawit yang mulai ditanam perkiraan bibit umur 10-12 Bulan.
“LembAHtari mengingatkan KPH Wilayah III dan Balai Gakkum KLHK wilayah Sumatera, ini merupakan kejahatan lingkungan yang dilakukan secara Brutal olek oknum mafia tanah/kebun sawit di pesisir lingkungan serta masyarakat. Dan ini bukan merupakan Delik aduan, sebab pembicaraan ini yang dilakukan Oknum Dinas Lingkungan dan Kehutanan ini sudah berlangsung lama dengan alasan tidak mampu serta tidak ada biaya, termasuk balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatera,” tegas Sayed.
LembAHtari punya bukti lapangan atas pembicaraan pembabatan kawasan Ekosistem Manggrove di Aceh Tamiang, pada tanggal 20 Juli 2020 LembAHtari menemukan Excavator (Beko) membabat kawasan hutan produksi Manggrove di Kuala Genting Bendahara.
Pada saat itu juga hadir staf KPH Wilayah III dan kami minta di copot Dinamo Start untuk dibawa ke Langsa, namun tindak lanjutnya tidak ada, sehingga saat itu LembAHtari membuat laporan ke Polda Aceh.
Sebab ada beberapa titik dalam kawasan lindung dan Hutan Produksi sejak tahun 2020, telah dibabat dan dialihkan fungsi menjadi Kebun sawit, namun KPH Wilayah III Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh diam tidak mampu menjalankan tugas, tanggungjawab serta kewenangan dengan baik.
Lembahtari, KJL dan Elemen Sipil lainnya serta aktivis dari beberapa media, siap untuk melaporkan pemangku kebijakan yang berkaitan dengan pembiaran pembabatan Hutan Manggrove di Aceh Tamiang yang saat ini sangat kritis ke Polri dan Polda Aceh, apabila KPH Wilayah III tidak segera bertindak untuk menghentikan pembabatan Hutan Manggrove di Kuala Genting.
Aktifis Lingkungan Dilindungi Undang-Undang
Sayed mengingatkan bahwa; aktivis lingkungan yang bekerja sebagai elemen sipil dilindungi oleh undang-undang. Yakni; Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Lalu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024; bertujuan sebagai pedoman tata kelola pelaksanaan perlindungan hukum terhadap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Beberapa poin penting dalam peraturan ini meliputi; Perlindungan hukum adalah upaya untuk mencegah dan melakukan pembelaan atas tindakan pembalasan terhadap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup,” tegasnya.
Lebih penting lagi kata Sayed; Tindakan pembalasan dapat berupa pelemahan perjuangan, partisipasi publik, somasi, proses pidana, dan/atau gugatan perdata. Pelindungan hukum diberikan dalam bentuk pencegahan dan penanganan.
Pedoman Jaksa No 8 Tahun 2022; Pedoman ini mengarahkan jaksa untuk lebih melindungi Pembela Lingkungan dan membuka ruang untuk membebaskannya jika penyidik melakukan kriminalisasi.
Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2023; Peraturan ini menjadi panduan bagi hakim untuk memberikan Perlindungan Hukum terhadap Hak-Hak Pembela Lingkungan Hidup.Sebutnya lagi; Meskipun ada beberapa peraturan yang melindungi aktivis lingkungan, implementasi dan perlindungan ini masih menghadapi beberapa tantangan.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan masih terjadi dan perlindungan hukum belum sepenuhnya efektif. “Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan dan peningkatkan implementasi peraturan yang ada untuk melindungi aktivis lingkungan dengan lebih baik,” pungkas Sayed. [S04].