Geudeu-Geudeu: Olahraga Gulat Tradisional di Aceh yang Diwariskan dari India

Geudeu2
Satu ureueng tueng melawan dua ureueng pok dalam olahraga gulat tradisional Aceh (Geudeu-geudue). (Foto: superlive.id)

Sigli. RU – Geudeu-Geudeu adalah olahraga tradisional yang berasal dari Kabupaten Pidie, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Aceh.

Dulunya, Geudeu-Geudeu dimainkan oleh remaja laki-laki Pidie saat mereka mulai beranjak dewasa.

Jika ditelisik dalam kontek sejarahnya, kelahiran geudeu-geudeu berawal dari usaha mengasah ketahanan mental dan jiwa laskar kerajaan di masa kesultanan Aceh. Karena sangat berbahaya, olahraga keras ini tidak pernah memperebutkan juara, karena bisa berakibat fatal.

Di Pidie dan Meureudu (wilayah kabupaten Pidie Jaya), dahulunya, ketika masa luah blang (pascapanen) atau saat bulan purnama, geudeu-geudeu kerap dipertandingkan.

Pemuda berbadan kekar berbondong-bondong mengikutinya, meski tak ada hadiah selain badan yang lebam. Hadiahnya malah sering tak berwujud, hanya sebuah kebanggaan belaka yang jadi pemuas bagi petarung yang menang.

Adu fisik ini hanya sekedar ‘mengendurkan otot-otot yang tegang melalui pertarungan. Namun ada kebanggaan lainnya, yaitu akan dianggap perkasa sehingga menjadi lirikan ujung mata para gadis yang menjadi alasan para remaja berkompetisi.

Di tahun 70-an, sebelum konflik Aceh memuncak, Geudeu-Geudeu sering dipertandingkan baik antar kampung atau kecamatan, tepatnya setelah panen raya padi sebagai bentuk perayaan atas hasil kerja keras di sawah.

Mekanisme Pertandingan

Permainan Geudeu-Geudeu dilakukan di atas tumpukan jerami yang dirangkai menjadi matras khusus untuk mencegah cedera, dan tidak menggunakan iringan musik.

Dalam Geude-Geude, arena pertandingan berbentuk segi empat dengan luas 25×5 meter.

Pertandingan ini melibatkan dua kelompok petarung: satu orang dari kelompok penantang, yang disebut ureung tueng akan menantang dua petarung lawan yang disebut ureung pok.

Ureung tueng akan berusaha menjatuhkan atau memukul punggung lawan menggunakan telapak tangan dengan kekuatan yang terukur, sementara ureung pok harus mempertahankan diri dan berusaha membanting lawan sebelum salah satu dari mereka mendapat pukulan dari ureung tueng.

Uniknya, ureung tueng bisa memanfaatkan teknik untuk memancing emosi atau melakukan semacam gaya propaganda untuk “melemahkan” mental lawan, seperti Keutrep Jaroe —gerakan petik jari untuk menggertak/memancing lawan—dan berbagai strategi fisik lainnya.

Sedangkan ureung pok, meski terbatas pada teknik membanting dan menghempas sambil berpegangan tangan, harus bekerja sama untuk mempertahankan diri dari serangan dan tangannya tidak boleh lepas selama permainan.

Durasi satu babak permainan pun tidak lama, hanya memakan waktu 3-5 menit.

Lazimnya dalam sebuah pertandingan, geudeu-geudeu dipimpin oleh beberapa orang wasit, yang disebut sebagai ureung seumeugla (juri pelerai) yang biasanya berjumlah empat atau lima orang.

Para juri tersebut juga merupakan orang orang yang tangkas dan kuat, sehingga mampu melerai para petarung. Pun, biasanya yang menjadi ureung seumegla tersebut merupakan para mantan petarung geudeu-geudeu itu sendiri, yang memiliki pengalaman dan insting soal geudeu-geudeu.

Seorang wasit geudeu-geudeu bisa melihat apakah petarung itu memukul dengan sikap profesionalisme atau emosional. Karena antara profesional dan emosional petarung itulah wasit berperan menentukan kapan sebuah pertarungan harus dihentikan.

Dalam proses permainannya, ketika diserang, petarung pertama akan memukul dan menghempas dua petarung lain yang menyerangnya. Khusus bagi ureung tueng boleh menggunakan gempalan tangan untuk memukul dimana saja, kecuali di bawah pusar.

Untuk ureung pok mereka hanya boleh membanting dan menghempas sambil mereka berpegangan tangan.

Jika pegangan tangan ureng pok ini terlepas atau salah satu dari mereka roboh akibat hantaman ureung tueng, maka mereka dianggap kalah, begitu juga dengan ureung tueng, apabila ureung pok sanggup menghempas atau membantingnya maka dianggap kalah.

Sebagai seni beladiri, geudeu-geudeu merupakan olahraga keras, petarung geude-geude harus memiliki ketahanan fisik dan mental yang kuat, tahan pukul dan bantingan lawan.

Selain itu petarung geudeu-geudeu juga dituntut kesabaran dan ketabahan, dimana di sinilah emosi diolah. Bila emosi petarung tidak stabil, maka bisa berujung pada kekalahan.

Kesabaran para pemain diuji dengan berbagai lontaran kata-kata kasar dari para penonton. Karena itu pula, sepanjang sejarah pertarungan geudeu-geudeu, belum pernah terjadi pertarungan di luar arena, yang artinya sikap sportif para pemain sangat tinggi.

Meski di arena mereka babak belur dan bonyok, tapi di luar arena itu dianggap sebagai sebuah kewajaran dan banyak dari petarung ini yang melanjutkan duduk-duduk/minum kopi bersama selepas pertandingan.

Tahun 2023, menjadi momentum yang spesial bagi olahraga tradisional ini, karena di tahun ini Geudeu-geudeu yang berasal Kabupaten Pidie ditetapkan jadi warisan budaya tak benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset.

Sebagai warisan budaya tak benda, Geudeu-Geudeu mencerminkan nilai penting dalam pelestarian tradisi dan budaya lokal.

Melalui olahraga ini, nilai-nilai budaya dapat terus diwariskan kepada generasi muda, karena berperan dalam membentuk karakter, kecerdasan, ketangkasan, kreativitas, dan rasa percaya diri.

Nilai-nilai ini menunjukkan betapa pentingnya Geudeu-Geudeu tidak hanya sebagai olahraga tetapi juga sebagai media pembelajaran moral dan sosial yang mendalam bagi masyarakat, terutama di tengah tantangan modernisasi.(TH05)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *