Wastafel Bernilai Miliaran, Korupsi yang Menyisakan Luka di Tengah Pandemi

Avatar photo

Banda Aceh. RU – Di tengah ingatan masyarakat Aceh tentang masa sulit pandemi COVID-19, satu demi satu wajah yang terlibat dalam kasus korupsi pengadaan wastafel untuk sekolah akhirnya terkuak. Terbaru, Polda Aceh menetapkan WKN, seorang anggota DPRK Aceh Besar, sebagai tersangka.

Kabar ini bukan sekadar berita hukum biasa. Ia kembali membuka luka lama: bagaimana anggaran darurat yang semestinya menyelamatkan ribuan siswa justru dipermainkan oleh oknum pejabat dan rekanan.

Dari Pencegahan Jadi Skandal

Tahun 2020, ketika pandemi melanda, pemerintah Aceh bergerak cepat. Dinas Pendidikan mengalokasikan dana Rp43,59 miliar untuk pengadaan tempat cuci tangan di sekolah menengah atas, SMK, hingga sekolah luar biasa.

Harapannya sederhana: memutus mata rantai penyebaran virus di ruang belajar.

Namun, di balik proyek yang terdengar mulia itu, tersimpan praktik culas. Hasil pemeriksaan menemukan banyak item pekerjaan yang tidak dikerjakan.

Volume terpasang pun tidak sesuai kontrak. Anehnya, pembayaran dilakukan penuh 100 persen. Audit BPKP menyebut kerugian negara mencapai Rp7,2 miliar.

Wajah-Wajah di Balik Kasus

Sebelum WKN, penyidik lebih dulu menahan SMY, rekanan proyek wastafel. Kini, dengan status tersangka yang melekat, WKN akan menjalani pemeriksaan pada 8 Oktober mendatang.

Kasus ini bukan hanya menyeret kontraktor dan politisi lokal. Tiga nama besar di jajaran Dinas Pendidikan Aceh [Kepala Dinas Rachmat Fitri, pejabat pengadaan Muchlis, serta pejabat teknis Zulfahmi] telah lebih dulu divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.

Mereka kini mendekam di Lapas Kelas IIA Banda Aceh dengan hukuman 1 hingga 4 tahun penjara.

Luka Kolektif Masyarakat

Bagi publik Aceh, kasus ini menyakitkan. Saat pandemi, banyak keluarga kehilangan pekerjaan, anak-anak belajar dari rumah tanpa fasilitas memadai, dan tenaga kesehatan berjibaku menyelamatkan nyawa.

Di saat genting itu, ada pihak yang justru memperkaya diri dari proyek cuci tangan yang seharusnya menjadi tameng keselamatan.

“Setiap kali membaca berita soal wastafel itu, saya teringat anak-anak sekolah kami yang harus antre panjang untuk cuci tangan, padahal banyak wastafel yang rusak atau tidak terpasang. Rasanya seperti ditipu,” ungkap seorang guru di Aceh Besar yang enggan disebut namanya.

Harapan Transparansi

Penetapan WKN sebagai tersangka menunjukkan bahwa hukum bergerak, meski lambat. Publik menanti langkah lebih jauh: apakah seluruh aktor yang terlibat akan benar-benar diungkap, atau hanya berhenti pada nama-nama tertentu?.

Kejadian ini juga menjadi pengingat keras tentang pentingnya pengawasan terhadap anggaran publik, terlebih dalam situasi darurat.

Sebab, di balik setiap rupiah yang hilang akibat korupsi, ada hak masyarakat yang terampas.

Kasus wastafel miliaran rupiah ini adalah cermin rapuhnya integritas birokrasi. Di atas kertas, ia adalah proyek kesehatan.

Namun dalam praktiknya, ia menjelma jadi skandal korupsi yang menyisakan luka kolektif.

Kini, semua mata tertuju pada proses hukum terhadap WKN. Publik menunggu: apakah keadilan benar-benar ditegakkan, atau hanya menjadi wastafel yang berkarat di ingatan masyarakat?. [].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *