Pelantikan Wali Kota Langsa Tertunda, Rakyat Jadi Korban

Pelantikan Wali Kota Langsa Tertunda, Rakyat Jadi Korban
banner 120x600
banner 468x60

Langsa. RU – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Langsa telah usai sejak akhir 2024 lalu. Proses demokrasi berjalan melalui tahapan sah, mulai dari pemungutan suara, penetapan hasil oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP), hingga berakhirnya sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan yang diajukan ke MK telah dismissed, artinya tidak diterima karena tidak memenuhi syarat formil maupun materiil. Maka, kemenangan pasangan Jeffry Sentana dan M. Haikal sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Langsa telah sah dan berkekuatan hukum tetap.

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga telah menyampaikan bahwa pelantikan kepala daerah hasil Pilkada serentak dapat dilakukan secara bertahap dan tidak mesti menunggu serentak penuh. Dalam banyak kasus, pelantikan bisa dilaksanakan segera setelah masa jabatan kepala daerah sebelumnya berakhir. Namun, sampai hari ini, hal itu belum terjadi di Kota Langsa.

Sudah lebih dari 100 hari Langsa tanpa pemimpin definitif. Penundaan pelantikan Jeffry-Haikal memunculkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Alasan yang kerap dikemukakan oleh DPRK Langsa adalah belum terbentuknya Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Padahal, justru di situlah letak masalahnya.

Keterlambatan ini menunjukkan kelalaian DPRK dalam menjalankan tugasnya secara tepat waktu. Alih-alih menyelesaikan pembentukan AKD sebagai bagian dari tanggung jawab kelembagaan, mereka justru membiarkan kekosongan ini berlarut-larut tanpa kejelasan.

Situasi ini memancing respons kritis dari berbagai kalangan, termasuk dari mahasiswa. Diki Anaya, mahasiswa Universitas Malikussaleh asal Kota Langsa yang pernah menjabat sebagai Kepala Divisi Kewirausahaan HIMSA (Himpunan Mahasiswa Langsa) periode 2024/2025, menyampaikan bahwa keterlambatan ini bukan persoalan teknis, melainkan bentuk manuver politik untuk mempertahankan ruang tawar segelintir elite.

“Kondisi ini mengingatkan pada anak kecil yang kalau tidak diberi giliran main, lalu menjatuhkan papan permainan agar tak ada yang bisa menang,” ujarnya.

Menurut Diki, ini bukan soal ketidaktahuan aturan, tapi lebih karena mereka belum rela permainan selesai saat masih ingin jadi wasit dan pemain sekaligus.

Penundaan pelantikan hanya memperkuat kesan bahwa jabatan lebih dipandang sebagai ladang proyek ketimbang amanah rakyat. Rakyat yang telah menaruh harapan kini justru dijadikan penonton dari drama elite yang berkepanjangan.

Ketiadaan wali kota definitif berdampak langsung pada stagnasi kebijakan daerah, terhambatnya program pembangunan, hingga lemahnya pelayanan publik. Banyak agenda penting tertunda karena tidak adanya otoritas sah yang mampu mengambil keputusan strategis.

Diki menekankan bahwa DPRK Langsa seharusnya segera menyelesaikan pembentukan AKD dan tidak menjadikan proses tersebut sebagai alat tawar-menawar kekuasaan.

“Pembentukan AKD itu mandat, bukan instrumen negosiasi politik. Kalau elite terus memainkan strateginya, maka rakyat juga berhak menyusun taktik sendiri,” tambahnya.

Ia mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, mahasiswa, dan rakyat Langsa untuk menyuarakan desakan publik agar pelantikan segera dilakukan dan demokrasi tidak dikunci oleh kepentingan sempit.

“Kalau demokrasi kita terus disandera oleh kepentingan, maka rakyat akan belajar menyusun taktik sendiri. Karena tak selamanya yang diam itu setuju—mungkin hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk menyalakan suara,” tutupnya.(AS07)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *