DI TENGAH hujan yang kerap turun tanpa jeda, Aceh kembali bergulat dengan luka lama bernama bencana.
Banjir, longsor, dan krisis hidrometeorologi seolah menjadi rutinitas tahunan yang diterima sebagai takdir.
Namun bagi mahasiswa Universitas Syiah Kuala (USK), bencana bukan sekadar peristiwa alam—ia adalah cermin telanjang dari kegagalan tata kelola dan keberpihakan negara.
Selasa, 30 Desember 2025 lalu, halaman Direktorat Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh tak hanya menjadi ruang akademik, tetapi juga panggung moral.
Aliansi-Aliansi Mahasiswa USK, yang terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa lintas fakultas dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa, berdiri menyampaikan kegelisahan kolektif mereka terhadap penanganan bencana di Aceh dan Sumatera secara umum.
Konsolidasi ini bukan reaksi sesaat. Ia lahir dari rangkaian diskusi terbuka dan surat terbuka yang sebelumnya disuarakan mahasiswa.
Diskusi itu menyimpulkan satu hal: penanganan bencana di Aceh terlalu rentan ditarik ke pusaran kepentingan di luar kemanusiaan.
Mahasiswa Fakultas Hukum, Ekonomi dan Bisnis, Ilmu Sosial dan Politik, Pertanian, Kelautan dan Perikanan hingga MPM USK menyatu dalam satu sikap.
Mereka menilai, di balik tumpukan lumpur dan rumah yang hancur, terdapat persoalan struktural yang tak kunjung dibereskan.
Koordinator Aliansi Mahasiswa USK, Ammar Malik Nabil, menyampaikan bahwa persoalan terbesar bukan hanya soal logistik atau infrastruktur, melainkan arah kebijakan yang kerap bias kepentingan.
“Isu kebencanaan seharusnya ditempatkan sebagai persoalan kemanusiaan. Namun dalam praktiknya, kami melihat adanya kecenderungan pengalihan narasi ke isu-isu politik yang justru mengaburkan urgensi pemulihan masyarakat terdampak.”
Pernyataan itu bukan tanpa dasar.
Di lapangan, mahasiswa mencatat indikasi penyalahgunaan fasilitas negara dan bantuan kemanusiaan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Bantuan yang seharusnya menjadi penyelamat justru berpotensi menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Situasi ini berdampak langsung pada kepercayaan publik.
Bagi korban bencana, ketidakadilan distribusi bantuan bukan sekadar soal logistik, tetapi soal martabat.
Mereka yang sudah kehilangan rumah dan penghidupan, kini dipaksa berhadapan dengan sistem yang tidak sepenuhnya berpihak.
Masalah lain yang tak kalah serius adalah lemahnya pengawasan harga kebutuhan pokok di wilayah terdampak.
Di saat masyarakat berjuang bangkit, fluktuasi harga justru dibiarkan tanpa kontrol memadai.
Beban ekonomi meningkat, terutama bagi kelompok rentan—petani kecil, nelayan, buruh harian, dan perempuan kepala keluarga.
Mahasiswa menilai pemerintah daerah belum menunjukkan kesigapan dalam mengendalikan situasi ini.
Negara hadir dalam pidato, tetapi sering absen dalam detail kebijakan sehari-hari.
Dalam konteks itulah, Aliansi Mahasiswa USK mendesak Presiden Republik Indonesia untuk turun tangan langsung.
Mereka merekomendasikan pembentukan Tim Khusus Percepatan Penanganan dan Pemulihan Bencana Alam Hidrometeorologi Sumatera, yang berada langsung di bawah komando Presiden.
Tim ini diharapkan bukan sekadar simbol birokrasi baru.
Mahasiswa menuntut kewenangan nyata: mengoordinasikan lintas kementerian dan lembaga, mengawasi distribusi bantuan secara transparan, menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok, mempercepat rehabilitasi infrastruktur, serta memastikan pemulihan sosial dan ekonomi berjalan adil dan berkelanjutan.
Bagi mahasiswa, tim khusus ini penting untuk memutus mata rantai kepentingan sempit yang kerap membajak agenda kemanusiaan.
Tanpa pengawasan langsung dari Presiden, penanganan bencana berisiko kembali terjebak pada rutinitas administratif tanpa empati.
Di akhir pernyataannya, Aliansi Mahasiswa USK mengajak seluruh elemen bangsa [pemerintah, masyarakat sipil, hingga media] untuk mengembalikan fokus pada korban.
Mereka menolak narasi yang memecah belah, menolak politisasi penderitaan, dan menuntut keberanian negara untuk berpihak secara nyata.
“Bencana tidak boleh dijadikan panggung kepentingan. Negara harus hadir secara adil, transparan, dan berpihak pada korban, bukan pada agenda politik.” [Ammar Malik Nabil, Koordinator Aliansi Mahasiswa USK].
BENCANA BUKAN SOAL ALAM YANG MURKA
BENCANA Aceh telah terlalu, sering menjadi saksi bahwa bencana bukan hanya soal alam yang murka, tetapi juga tentang manusia yang lalai.
Di tengah lumpur yang belum mengering dan trauma yang belum pulih, suara mahasiswa USK menjadi pengingat: kemanusiaan tak boleh dikalahkan oleh kepentingan.
Jika negara terus ragu mengambil sikap tegas, maka yang tersisa hanyalah siklus bencana dan janji. Dan di antara keduanya, rakyat kembali menjadi korban yang paling setia menunggu keadilan.(S04)















