(H. Muharram Idris, Bupati Aceh Besar)
“Kita ingin anak-anak dan cucu kita memahami bahwa tsunami adalah bencana yang sangat berbahaya. Ketika gempa terjadi, jangan lengah. Selamatkan diri, anak dan istri, cari tempat aman. Jangan ulangi kelalaian masa lalu,”
Aceh Besar. RU – Dua puluh satu tahun setelah gempa bumi dan tsunami maha dahsyat 26 Desember 2004, Aceh kembali menundukkan kepala dalam sebuah refleksi panjang.
Peringatan tahun ini dipusatkan di Masjid Rahmatullah Lampuuk, Aceh Besar—sebuah bangunan yang menjadi saksi bisu kehancuran sekaligus keteguhan iman masyarakat Aceh pascatsunami.
Bupati Aceh Besar Muharram Idris, yang akrab disapa Syekh Muharram, menyebut peringatan 21 tahun tsunami bukan sekadar mengenang tragedi masa lalu, melainkan juga momentum penting untuk membaca kembali tanda-tanda alam hari ini.
Terlebih, Aceh dan sejumlah wilayah di Sumatera baru saja dilanda banjir bandang dan tanah longsor akibat bencana hidrometeorologi pada 26 November 2025.
“Hari ini kami tidak hanya mengenang tsunami 21 tahun lalu, tetapi juga mengaitkannya dengan musibah banjir bandang dan longsor yang baru saja menimpa saudara-saudara kita di Aceh dan wilayah Sumatera lainnya,” kata Muharram, kepada rahasiaumum.com, Jumat (26/12/2025).
Agar Tsunami Tak Dilupakan
Muharram menegaskan, tujuan utama peringatan tsunami adalah memastikan peristiwa kelam itu tidak terkubur oleh waktu.
Menurut dia, tsunami adalah pelajaran besar yang harus terus diwariskan lintas generasi.
Ia menekankan pentingnya ingatan kolektif masyarakat Aceh agar tragedi serupa tidak kembali memakan korban karena ketidaksiapan.
Doa untuk Korban, Harapan untuk Aceh
Dalam peringatan tersebut, doa bersama dipanjatkan untuk para korban gempa dan tsunami 2004. Namun, doa tidak berhenti di masa lalu.
Muharram menyebut doa juga dipersembahkan bagi masyarakat yang baru saja tertimpa banjir dan longsor di berbagai kabupaten dan kota di Aceh.
“Kami mendoakan agar Allah SWT memberikan kekuatan, memudahkan segala urusan mereka, dan mempercepat pemulihan. Harapan kami, Aceh bisa bangkit, sejajar dengan provinsi lain di Indonesia, bahkan dengan bangsa-bangsa di dunia,” tuturnya.
Pelajaran dari Banjir Bandang: Hutan yang Rusak
Refleksi tsunami, menurut Muharram, harus berlanjut pada evaluasi serius terhadap bencana hidrometeorologi yang kian sering terjadi.
Ia menilai, perambahan hutan menjadi salah satu faktor utama penyebab banjir bandang dan longsor.
“Di wilayah yang hutannya masih terjaga, hujan deras tidak langsung menjadi bencana. Air terserap ke tanah. Tapi di wilayah yang hutannya rusak, kayu dan balok besar ikut hanyut, menghantam rumah warga,” kata dia.
Pengalaman pahit ini, lanjut Muharram, seharusnya menjadi peringatan keras agar tidak lagi ada pembiaran terhadap perusakan hutan.
Menjaga Hutan sebagai Warisan Bersama
Muharram mengajak masyarakat Aceh, khususnya Aceh Besar, untuk bersama-sama mengawal hutan sebagai aset dan warisan generasi mendatang.
“Jangan biarkan hutan dirusak oleh penebang liar atau pengusaha yang tidak bertanggung jawab. Kalau hutannya rusak, yang menderita masyarakat,” ujarnya.
Ia menegaskan, menjaga hutan bukan semata isu lingkungan, tetapi soal keselamatan hidup manusia.
Mitigasi Bencana Masih Lemah
Dalam wawancara tersebut, Muharram juga mengkritisi lemahnya sistem mitigasi bencana di Indonesia.
Menurut dia, mitigasi paling dasar adalah mengingat sejarah dan belajar darinya.
Ia menilai peran BMKG sangat penting dalam memantau perubahan iklim dan potensi bencana.
Namun, informasi peringatan dini harus disampaikan secara cepat dan resmi melalui jalur pemerintahan.
“Jangan sampai informasi bencana hanya beredar di TikTok atau media sosial. Tidak semua masyarakat punya akses. Negara harus menetapkan status siaga agar masyarakat bersiap lebih awal,” tegasnya.
Dampak Galian dan Regulasi yang Lemah
Muharram juga menyoroti aktivitas galian C dan B yang dinilainya memperparah kerusakan lingkungan.
Sungai-sungai menjadi dalam, sawah mengering, sumur warga terdampak, dan jembatan terancam roboh saat banjir datang.
“Aturan sebenarnya sudah jelas. Tapi pengawasan lemah. Izin dikeluarkan tanpa pengawalan yang ketat di daerah, sementara dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat,” katanya.
Ia mengingatkan para pelaku usaha agar tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga memperhatikan kelestarian alam.
Hikmah Tsunami dan Harapan Masa Depan
Tsunami 2004, menurut Muharram, menyisakan hikmah besar bagi Aceh.
Dari tragedi itu lahir perdamaian setelah konflik panjang, serta rekonstruksi besar-besaran yang melibatkan pemerintah pusat dan dunia internasional.
“Aceh bangkit dari duka menjadi Aceh yang damai. Perdamaian itu sudah berjalan lebih dari 20 tahun dan harus terus dijaga,” ujarnya.
Bencana hidrometeorologi yang kembali melanda Sumatera pada 26 November 2025 menjadi pengingat bahwa kewaspadaan, kepedulian lingkungan, dan mitigasi bencana tidak boleh kendur.
“Semoga semua musibah ini menjadi pelajaran berharga demi keselamatan dan masa depan generasi Aceh yang lebih baik,” tutup Muharram.
Belajar dari Tsunami: Penanganan Bencana Harus Terpadu dan Cepat
Muharram Idris menegaskan, pengalaman penanganan tsunami Aceh 2004 seharusnya menjadi rujukan utama dalam menghadapi bencana hidrometeorologi yang terjadi di Aceh, sebagian Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Ia mengingatkan bahwa pascatsunami, negara hadir secara cepat, terstruktur, dan terkoordinasi.
“Dulu setelah tsunami, penanganan sangat jelas. Ada komando, ada pembagian peran antara pusat, daerah, TNI-Polri, dan lembaga internasional. Rehabilitasi dan rekonstruksi berjalan cepat karena semua bergerak dalam satu sistem,” ujar Muharram.
Menurut dia, pola penanganan seperti itu perlu diterapkan kembali dalam menghadapi banjir bandang dan longsor.
Penanganan bencana tidak boleh bersifat reaktif atau parsial, tetapi harus terencana sejak awal, mulai dari mitigasi, tanggap darurat, hingga pemulihan.
“Bencana hidrometeorologi tidak datang tiba-tiba. Ada tanda-tanda alamnya. Kalau peringatan dini diperkuat dan ditindaklanjuti seperti pascatsunami dulu, korban bisa ditekan,” katanya.
Muharram juga menekankan pentingnya pendataan cepat korban, kerusakan, dan kebutuhan dasar masyarakat, sebagaimana dilakukan saat rehabilitasi tsunami.
Menurut dia, kecepatan distribusi logistik dan kejelasan komando lapangan menjadi kunci agar masyarakat tidak berlama-lama hidup dalam kondisi darurat.
Selain itu, ia menilai pendekatan build back better (Membangun Kembali dengan Lebih Baik) yang diterapkan pascatsunami—membangun kembali dengan memperhatikan tata ruang, lingkungan, dan risiko bencana—harus menjadi prinsip utama dalam pemulihan wilayah terdampak banjir dan longsor.
“Dulu kita belajar membangun rumah, jalan, dan pemukiman yang lebih aman dari bencana.
Prinsip itu harus kita terapkan sekarang. Jangan membangun kembali di daerah rawan tanpa perlindungan yang memadai,” ujarnya.
Muharram berharap, pemerintah pusat dan daerah dapat kembali menjadikan pengalaman tsunami Aceh sebagai laboratorium kebijakan kebencanaan nasional, sehingga penanganan bencana hidrometeorologi tidak lagi sporadis, melainkan sistematis dan berkelanjutan.(*)















