Oleh: Putri Sarah Naina
ACEH kembali ditampar banjir. Namun ironisnya, tidak semua tamparan itu “diakui” sebagai luka serius. Di saat air masih menggenang di berbagai titik hingga hari kelima, di saat warga masih bertahan di atap rumah, di balai desa, di masjid dan sekolah yang berubah menjadi pos pengungsian darurat, justru muncul pernyataan dari pemerintah pusat bahwa “bencana di Aceh tidak separah yang ditampilkan di media sosial”, bahkan disebut telah “berangsur surut”.
Pernyataan ini tidak hanya mengecilkan realitas di lapangan, tetapi juga melukai psikologis ribuan warga terdampak. Ia seolah berkata: penderitaan yang Anda alami tidak cukup valid, tidak cukup besar, tidak cukup layak untuk disebut darurat.
Padahal hingga satu pekan bencana, sejumlah wilayah masih tergenang air. Dari Lhok Nibong, Simpang Ulim hingga Peureulak, di Aceh Timur, genangan belum surut.
Di beberapa gampong, ketinggian air masih sebatas lutut hingga dada orang dewasa, jalan putus, jembatan roboh. Saluran irigasi rusak, listrik masih padam dan komunikasi putus total sejak sepekan lalu.
Banjir ini bukan sekadar soal air yang meluap, ia adalah krisis kemanusiaan, krisis infrastruktur, dan krisis tata kelola lingkungan sekaligus.
Rumah-rumah yang dibangun dengan susah payah selama puluhan tahun rata dengan lumpur dan puing. Dinding kayu yang lapuk tak sanggup menahan derasnya arus. Perabot rumah tangga rusak. Kendaraan hilang terseret. Anak-anak menangis ketakutan. Orang tua kehilangan mata pencaharian dalam sekejap. Di sejumlah titik, korban luka dan bahkan jiwa menjadi harga dari kelambanan sistem yang seharusnya melindungi.
Di saat sebagian pihak sibuk meredam persepsi, masyarakat juga dipaksa bergerak dengan caranya sendiri.
Di banyak titik terdampak, warga mulai membangun dapur umum secara mandiri, dengan peralatan seadanya. Pemuda-pemudi desa mengantar logistik dengan perahu kecil, berjalan kaki menerobos lumpur, menyusuri jalan alternatif yang masih bisa dilewati.
Di Banda Aceh, dimana warga masih boleh dikata aman walau listrik dan air padam berhari-hari, berupaya mengumpulkan pakaian layak pakai, mengumpulan donasi untuk penyediaan beras, mie instan, apapun yang kiranya bisa mereka salurkan ke wilayah terdampak.
Bukan karena mereka mampu, tetapi karena mereka tidak punya pilihan lain — ketimbang menunggu pemerintah yang bergerak terlalu lambat.
Inilah wajah solidaritas rakyat Aceh: tidak berisik di konferensi pers, tidak muncul dalam laporan resmi, namun nyata hadir di lumpur, di ujung perahu kecil, di dapur darurat beratap terpal, dan di tangan-tangan yang membagi nasi tanpa kamera.
Di tengah rontoknya infrastruktur, justru kemanusiaan masih tumbuh. Di tengah narasi yang dibikin rapi, realitas di lapangan tetap kasar dan menyakitkan.
Banjir Aceh hari ini juga bukan peristiwa alam semata. Ini adalah akumulasi dari kerusakan hulu, alih fungsi lahan, lemahnya pengawasan kawasan lindung, buruknya tata kelola DAS, serta kebijakan setengah hati dalam mitigasi bencana. Ini adalah hasil dari pembiaran jangka panjang yang kini dibayar mahal oleh masyarakat kecil.
Pertanyaan yang seharusnya diajukan bukan: “Seberapa parah banjir ini dibandingkan daerah lain?” Melainkan: “Mengapa Aceh terus menjadi korban yang sama, berulang kali, tanpa perubahan berarti?”
Rakyat tidak butuh pernyataan yang menenangkan kamera. Mereka butuh air bersih, jembatan sementara, evakuasi yang layak, bantuan medis, pemulihan ekonomi, dan jaminan bahwa bencana serupa tidak akan terus menjadi siklus tahunan.
Lebih dari itu, rakyat butuh kejujuran. Kejujuran untuk mengakui bahwa ini darurat. Kejujuran untuk berkata bahwa sistem belum bekerja maksimal. Kejujuran untuk memperbaiki, bukan menutupi.
Sebab banjir bukan sekadar soal air. Ia adalah cermin. Dan yang terlihat di dalamnya hari ini adalah wajah negara yang masih gamang membedakan antara narasi dan kenyataan.
Jika di balik meja dikatakan banjir terlihat telah berkurang, datanglah ke Lhok Nibong, Ke Simpang Ulim, ke Peureulak, ke desa-desa yang belum terdengar suaranya. Lihat mata para ibu yang masih menunggu bantuan. Dengarkan anak-anak yang kehilangan orangtuanya. Rasakan bau lumpur yang belum bisa hilang dari dinding rumah.
Barangkali saat itu kami tak perlu lagi meyakinkan siapa pun bahwa ini bencana. Karena bagi kami, ini sudah lebih dari cukup untuk disebut: ‘luka’.(**)
*) Penulis: Mahasiswi Aceh Timur di Banda Aceh.















