Tradisi Manoe Pucok: Nasihat Terakhir Sebelum Melangkah ke Hidup Baru

Prosesi Manoe Pucok salah satu adat budaya di Abdya yang dilaksanakan oleh calon pengantin jelang pernikahan. Senin 24 November 2025. [Foto Dok : rahasiaumum.com/T018]

Blangpidie. RU – Di Aceh Barat Daya (Abdya), setiap pesta pernikahan—bahkan upacara sunat—nyaris tak pernah berlangsung tanpa satu tradisi sakral yang diwariskan turun-temurun: manoe pucok.

Di balik kesederhanaannya, ritual ini menyimpan pesan mendalam tentang cinta orang tua, restu keluarga, dan persiapan memasuki babak baru kehidupan.

Pada satu siang yang teduh di sebuah rumah warga di Kecamatan Lembah Sabil, misalnya, seluruh keluarga berkumpul mengelilingi calon pengantin.

Di ruangan yang telah ditata rapi itu, suasana haru mulai menyeruak ketika salawat dilantunkan bergantian oleh kerabat.

Calon pengantin duduk khidmat, menundukkan kepala, sementara para sesepuh bersiap menyampaikan wejangan.

Momen itulah yang disebut manoe pucok—secara harfiah berarti mandi pucuk—di mana “pucok” melambangkan daun tertinggi dari sebatang pohon.

Namun dalam pemahaman budaya Abdya, pucok adalah simbol dari tindakan terakhir orang tua sebelum “melepaskan” anak ke fase hidup yang baru.

Nasihat yang Menyentuh, Air Mata yang Jatuh

Sebelum prosesi mandi dilakukan, sesepuh atau orang tua mempelai menyampaikan nasihat seputar kehidupan rumah tangga.

Kalimat-kalimat sederhana yang terlontar sering kali justru menjadi pengingat paling bermakna.

“Kami titipkan kebahagiaanmu pada pasanganmu. Jaga rumah tanggamu seperti kami menjagamu,” ujar seorang ibu yang suaranya bergetar, sebelum akhirnya meneteskan air mata.

Inilah yang membuat manoe pucok begitu mengharukan: tidak hanya bagi calon pengantin, tetapi juga bagi keluarga besar yang ikut menyaksikan.

Nasihat yang diberikan biasanya diselingi kisah-kisah penuh makna, seperti cerita tentang kesabaran Zainab melepas putranya, Saidina Hasyem, ke medan perang—sebuah metafora untuk ketabahan menghadapi ujian hidup.

Prosesi ini dipimpin seorang syahi bersama tujuh aneuk syahi, yang memiliki tugas mengatur jalannya ritual.

Setelah nasihat selesai, barulah acara puncak dilakukan: memandikan calon pengantin sebagai simbol pembersihan diri sebelum memasuki kehidupan baru.

Ritual ditutup dengan pengangkatan pengantin ke dalam rumah.

Makna yang Tetap Hidup Meski Orang Tua Telah Tiada

Salah satu momen paling menyentuh dalam manoe pucok adalah ketika orang tua calon pengantin telah meninggal dunia.

Pada kondisi itu, wali keluarga atau kerabat dekat menggantikan peran untuk memberikan nasihat.

Tugas tersebut menjadi bukti bahwa keluarga besar menanggung tanggung jawab moral yang sama dalam mengantar seorang anak menuju kedewasaan.

“Wali yang hadir memastikan bahwa calon pengantin tetap mendapatkan perhatian dan nasihat sebagai bagian dari keluarga yang utuh,” ujar Usmadi, seorang tokoh adat dari Abdya, Senin (24/11/2024).

Tak Hanya untuk Pernikahan, tapi Juga untuk Sunat

Tidak hanya bagi pengantin, manoe pucok juga digelar untuk anak laki-laki yang akan menjalani sunat. Pesan-pesan yang disampaikan tentu berbeda—lebih menekankan pada kesiapan mental anak yang akan memasuki fase pubertas.

Meski demikian, semangatnya tetap sama: memberikan bekal nilai, moral, dan nasehat yang akan menuntun mereka menjadi pribadi yang lebih matang.

Mencari Pengakuan sebagai Warisan Budaya Takbenda

Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya kini bersiap mengusulkan manoe pucok sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Usulan itu didorong oleh hasil kajian akademisi Abdya, yang menilai tradisi ini telah memenuhi seluruh persyaratan dokumentasi budaya.

“Kita berharap manoe pucok ini menjadi warisan budaya tak benda,” kata Usmadi.

“Tradisi ini hadir di seluruh kecamatan, dari Babahrot hingga Lembah Sabil. Hampir setiap pesta perkawinan atau sunat rasul selalu diawali dengan manoe pucok.”

Bagi masyarakat Abdya, manoe pucok bukan sekadar upacara adat.

Ia adalah ruang untuk kembali pada akar keluarga, tempat nasihat terakhir diberikan dengan penuh cinta, dan simbol peralihan seseorang ke fase hidup yang lebih dewasa.

Tradisi ini mungkin tampak sederhana, tetapi makna di balik setiap tetes air dan nasihat yang terucap menjadikannya sangat berharga.(T018)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *