Kutacane. RU – Di tengah arus modernisasi yang perlahan menggeser banyak tradisi lama, masyarakat Alas di pedalaman Aceh Tenggara masih memelihara satu ritual keluarga yang sarat makna: Pemamanen.
Ritus penghormatan kepada paman atau wali keluarga ini terus hidup, mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai pengikat kekerabatan yang kokoh.
Pemamanen lazim hadir dalam helat pernikahan maupun khitanan. Namun, di mata masyarakat Alas, ritual ini bukan sekadar pelengkap rangkaian upacara, melainkan wujud penghormatan mendalam kepada figur paman—tokoh keluarga yang dipandang memegang peranan penting dalam perjalanan hidup anak-anak kemenakannya.
Secara etimologis, kata pemamanen merujuk pada “paman” atau “wali”, sosok yang dalam budaya Alas dihormati dan ditempatkan sebagai penjaga kehormatan keluarga.
Dari makna itulah kemudian berkembang sebuah tradisi kunjungan resmi yang dilakukan secara berkelompok.
Ritus Jamuan dan Balasan Kehormatan
Dalam praktiknya, rombongan pemamanen biasanya datang dari satu kampung atau dari keluarga besar tertentu.
Kehadiran mereka disambut oleh tuan rumah dengan hidangan yang telah disiapkan—sebuah simbol penerimaan dan rasa hormat.
Sebagai balasan atas jamuan itu, pihak pemamanen membawa pelawat, yakni uang adat, serta hasil bumi yang dijadikan bingkisan simbolis.
Hasil bumi tersebut mencerminkan harapan agar hajat yang digelar berjalan baik, membawa keberkahan, serta memberi pertanda hubungan keluarga yang terus tumbuh subur seperti tanah yang menghasilkan panen.
“Tradisi ini menjaga keharmonisan dan menunjukkan bahwa keluarga besar tetap hadir pada momen penting,” tutur Arifin (87), tokoh adat yang telah puluhan tahun menjadi rujukan masyarakat Alas. Ia menyebut Pemamanen sebagai ruang memperkuat ikatan sosial—ruang yang tak mudah digantikan oleh sekadar perayaan seremonial.
Dalam sejumlah kesempatan tertentu, pihak wali bahkan menyediakan seekor kuda untuk dikendarai dan dikellingkan sebagai simbol kehormatan dan kegembiraan keluarga.
Dilestarikan di Tengah Modernisasi
Di tengah perubahan sosial dan berkembangnya pandangan mengenai modernisasi adat, Pemamanen tetap bertahan sebagai identitas budaya masyarakat Alas.
Meski istilah “pemanen” kerap disalahartikan sebagai ritual panen pertanian, masyarakat menegaskan bahwa tradisi ini sepenuhnya berkaitan dengan penghormatan keluarga, bukan ladang atau sawah.
Pemamanen pun menjadi ruang pertemuan lintas generasi—wadah bagi anak muda Alas untuk mengenali kembali akar budaya mereka.
Di setiap kunjungan, jamuan, dan bingkisan yang bertukar tangan, terselip pesan bahwa keluarga besar adalah rumah yang selalu hidup, bahkan ketika zaman bergerak cepat.
Hingga kini, tradisi Pemamanen tetap menjadi penopang hubungan kekerabatan dalam masyarakat Alas, mengikat kedekatan antaranggota keluarga di tengah dinamika sosial yang terus berubah.(AFW016)















