Subulussalam. RU – Di tengah derasnya arus modernisasi yang kian meminggirkan tradisi, sebuah riuh berbeda terdengar di Lapangan Sada Kata, Kota Subulussalam, Sabtu (22/11/2025).
Di antara tenda-tenda sederhana dan sorakan anak-anak, permainan tradisional Mekhilo kembali dipentaskan—bukan sekadar permainan, melainkan jejak budaya yang lama meredup.
Festival Budaya Mekhilo yang digagas Persatuan Pelestarian Olahraga Tradisional Indonesia (Portina) Kota Subulussalam seolah menjadi panggung bagi ingatan kolektif masyarakat yang pelan-pelan memudar.
Bagi sebagian, nama “Mekhilo” mungkin asing. Bagi generasi lebih muda, bahkan tak pernah terdengar.
“Banyak masyarakat kita yang mungkin tidak lagi mengenal Mekhilo,” ujar Ketua Komisi C DPRK Subulussalam, Antoni Angkat, SE, dalam sambutannya. Modernisasi memang memberi banyak hal, namun di saat yang sama secara perlahan menggeser budaya lama ke tepi.
Ruang Kembali untuk Warisan Lama
Antoni menegaskan festival ini bukan sekadar ajang hiburan, melainkan sebuah ruang penting untuk menjaga dan mengembangkan warisan budaya.
Mekhilo, katanya, memiliki nilai edukasi yang kuat, terutama untuk anak-anak yang mendapatkan kesempatan tampil dan belajar lewat permainan itu.
“Mekhilo ini bagian dari sosialisasi dan motivasi bagi generasi muda. Portina patut diberi acungan jempol,” ujarnya.
Di tengah perkembangan zaman yang kian kompleks, arah kegiatan anak-anak semakin kabur.
Permainan tradisional seperti Mekhilo menawarkan ruang alternatif yang sehat, positif, dan membentuk karakter kompetitif yang bersahabat.
Riuh Lapangan dan Antusias Anak-Anak
Sejak pagi, Lapangan Sada Kata dipenuhi suara tawa.
Anak-anak dengan penuh semangat mencoba memahami aturan permainan, sementara para orang tua memandanginya dengan mata bernostalgia—seolah melihat masa kecil mereka sendiri.
Sebagian panitia dari Portina terlihat sibuk mengatur jalannya pertandingan, sementara dukungan dari Yayasan Rumah Kita (YRK), KORMI, dan sejumlah sponsor lain membuat festival perdana ini tampak lebih terorganisasi.
“Sangat menggembirakan melihat anak-anak terlibat langsung,” kata salah satu panitia.
Bagi Portina, kunci pelestarian budaya rakyat adalah memastikan generasi paling muda mengenal dan merasakannya sendiri, bukan sekadar mendengar cerita.
Kerja Bersama Melawan Lupa
Festival ini mengisyaratkan bahwa pelestarian budaya bukan hanya tugas komunitas tertentu.
Antoni berharap pemerintah daerah hadir memberi dukungan nyata agar upaya seperti ini tidak berjalan sendirian. Tanpa dukungan lebih luas, upaya melestarikan budaya berisiko kembali redup.
Portina memaknai festival ini sebagai kerja bersama—menggali kembali tradisi yang hampir hilang dan mengembalikannya ke tengah masyarakat.
Bahwa budaya, betapapun sederhana, adalah identitas yang tak seharusnya dibiarkan tenggelam oleh kemajuan zaman.
Dan pagi itu, di Lapangan Sada Kata, Mekhilo tak hanya dimainkan. Ia dipanggil pulang.(MB017)















