Mengenal Rapai, Seni Budaya Aceh yang Diwarisi dari Kerajaan Samudra Pasai

Rapai Pasee
Pementasan Rapai Pasee, warisan budaya yang mencerminkan perpaduan antara seni dan agama. (Foto: Instagram panggung maestro)

Banda Aceh. RU – Rapai merupakan alat musik tradisi Aceh yang kerap mengiringi acara-acara seni budaya khas Aceh, baik dalam penyambutan tamu maupun event-event wisata dan religi.  

Jika Anda mengunjungi Aceh dan menghadiri kegiatan seni budaya, anda pasti akan disajikan kesenian tradisi yang diiringi musik rapai.  

Namun perlu untuk diketahui, ajaran Islam biasanya melarang permainan alat musik. Tapi di Aceh, alat musik rapai malah erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam, bagaimana bisa?

Ya, ini berawal dari era ratusan tahun lalu, di masa kerajaan Samudra Pasai yang dikenal bukan hanya sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, tapi juga sebagai pusat kebudayaan yang kaya akan nilai-nilai seni bernuansa Islami.

Salah satu peninggalan budaya yang masih bertahan hingga kini adalah rapai, alat musik tradisional yang menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Aceh, khususnya di wilayah Pasee (sekarang masuk wilayah Aceh Utara dan Lhokseumawe).

Kesenian ini pun kemudian menjadi bukti bagaimana Islam dan budaya lokal berpadu harmonis sejak masa lampau.

Asal dan Proses Pembuatan Rapai Pasee

Jenis rapai yang paling dikenal adalah rapai pasee, dinamai sesuai dengan daerah asalnya di kawasan Pasee.

Alat musik ini memiliki bentuk besar dan berat, berbeda dengan rapai biasa yang lebih kecil.

Dalam pembuatan satu rapai pasee, seorang pengrajin bisa menghabiskan waktu hingga enam bulan karena prosesnya yang rumit dan membutuhkan ketelitian tinggi.

Seorang seniman yang juga salah satu pembuat rapai terkenal di Aceh Utara, Ismail Piah atau akrab dipanggil Syeh Mae, menjelaskan bahwa bahan utama rapai berasal dari pohon tualang besar, sementara bagian kulitnya menggunakan kulit sapi.

“Karena proses pembuatannya yang panjang dan penuh keahlian, harga sebuah rapai pasee pun bisa mencapai jutaan rupiah per unit,” ujar Syeh Mae.

Sejarah dan Asal-usul Rapai Pasee

Meski tidak diketahui secara pasti siapa pencipta pertama rapai pasee, banyak cerita turun-temurun menyebutkan bahwa alat musik ini telah ada sejak ratusan tahun lalu, sejak masa awal berdirinya Kerajaan Samudra Pasai.

Namun dari cerita turun-temurun, diyakini bahwa alat musik rapai pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh bernama Haji Ben Pasee, seorang ulama yang turut menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut.

Syeh Mae sendiri belajar membuat rapai sejak usia 20 tahun dari seorang syeh bernama Uya Syam di Lhoksukon.

Menurutnya, pembuatan rapai bukan sekadar pekerjaan, tetapi bentuk penghormatan kepada tradisi dan sejarah panjang Aceh.

Ia menganggap setiap rapai memiliki nilai spiritual tersendiri karena digunakan untuk menyiarkan dakwah dan ajaran Islam melalui lantunan syair dan tabuhan.

Ragam Jenis Kesenian Rapai

Seiring waktu, rapai berkembang menjadi berbagai jenis kesenian dengan gaya dan fungsi yang berbeda, berikut beberapa di antaranya:

1. Rapai Daboh (Dabus)

Jenis rapai ini dikenal karena menampilkan kekuatan fisik dan spiritual para pemainnya.

Pertunjukan rapai daboh biasanya dilakukan oleh 12 orang yang bermain dalam formasi lingkaran, dipimpin oleh seorang syeh.

Pertunjukan ini sering membuat penonton tegang karena disertai atraksi berbahaya seperti menusuk tubuh dengan benda tajam atau membakar diri, tetapi para pemain jarang terluka.

Jika ada yang cedera, syeh hanya mengusap bagian luka dan darah berhenti mengalir.

Tradisi ini dipercaya memiliki unsur ilmu spiritual yang tinggi dan menjadi daya tarik utama rapai daboh.

2. Rapai Pasee (Rapai Gantung)

Rapai pasee merupakan jenis yang paling sering digunakan dalam acara penyambutan tamu penting atau perayaan besar.

Pertunjukannya diiringi dengan syair-syair Islami yang dilantunkan oleh seorang syeh.

Kesenian ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga bentuk penghormatan dan doa bagi para tamu.

3. Rapai Geurimpheng (Rapai Macan)

Dalam rapai geurimpheng, ada 12 pemain yang terdiri atas delapan penabuh rapai dan empat orang lainnya yang memainkan alat tambahan seperti canang serta membacakan syair.

Tabuhannya kuat, ritmis, dan menggambarkan semangat keberanian masyarakat Aceh.

Gerakan dan formasi para pemain diatur agar pertunjukan terlihat indah dan berenergi.

4. Rapai Pulot

Jenis rapai ini merupakan perpaduan antara seni musik, tari, suara, dan ketangkasan.

Berdasarkan cerita lama, rapai pulot berasal dari alat musik yang dibawa oleh seorang ulama dari Baghdad bernama Syeh Rapi, yang juga dikenal sebagai penyebar Islam di kawasan Pasee.

Hal ini menunjukkan adanya pengaruh kuat kebudayaan Islam dari Timur Tengah terhadap perkembangan seni di Samudra Pasai.

5. Rapai Cebrek

Rapai cebrek merupakan jenis rapai kuno yang kini sudah jarang dimainkan, dan usianya diperkirakan mencapai empat abad.

Terakhir kali rapai ini ditampilkan pada pementasan teater berjudul Syeh Lagee di Jakarta pada tahun 2008.

Kini, rapai cebrek menjadi bagian dari sejarah dan simbol kejayaan masa lalu.

Makna dan Nilai Spiritual Rapai

Kesenian rapai tidak hanya menonjolkan keindahan suara dan irama, tetapi juga mengandung pesan moral serta nilai-nilai keislaman.

Dalam setiap pertunjukan, syair yang dinyanyikan berisi ajakan untuk berbuat baik, bersyukur, dan selalu mengingat Sang Pencipta.

Karena itulah, rapai dianggap sebagai media dakwah yang efektif dan menyentuh hati masyarakat.

Selain bernilai spiritual, rapai juga memperlihatkan semangat kebersamaan masyarakat Aceh. Dalam satu pertunjukan, banyak orang bekerja sama dengan ritme dan harmoni yang selaras.

Itulah yang menyebabkan Rapai pasee menjadi alat musi warisan budaya yang mencerminkan perpaduan antara seni dan agama.

Suaranya yang menggema tak hanya menjadi hiburan, tetapi juga mengingatkan akan perjalanan panjang sejarah Islam di Aceh.

“Melestarikan kesenian rapai berarti menjaga identitas dan jati diri bangsa. Melalui tabuhan dan syairnya, rapai terus hidup sebagai simbol kebanggaan dan kekuatan spiritual masyarakat Aceh,” demikian ujar Syeh Mae.(TH05)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *