Banda Aceh. RU – Sejumlah aktivis dan pegiat hak asasi manusia menggelar aksi damai menolak penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, di Bundaran Taman Bustanussalatin, Rabu (12/11/2025).
Peserta aksi duduk melingkar di pelataran taman, sementara orator bergantian menyampaikan seruan dari mikrofon tunggal.
Spanduk hitam bertuliskan kritik terhadap keputusan pemerintah terbentang di belakang mereka, diiringi deretan foto hitam-putih korban pelanggaran HAM dan simbol dom di lantai.
“Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto sama dengan menghapus jejak luka bangsa,” seru salah satu orator.
Aksi yang diinisiasi Koalisi Masyarakat Sipil Aceh — terdiri dari AJI Banda Aceh, LBH Banda Aceh, KontraS Aceh, MaTA, dan sejumlah LSM lain-menilai keputusan pemerintah mengabaikan fakta sejarah dan bertentangan dengan nilai hukum serta HAM.
Koalisi menyoroti rekam jejak Soeharto selama 32 tahun berkuasa yang sarat pelanggaran HAM, pembungkaman demokrasi, dan praktik korupsi, kolusi, serta nepotisme.
Bagi Aceh, masa Orde Baru meninggalkan trauma mendalam. Penetapan daerah itu sebagai Daerah Operasi Militer (1989–1998) menimbulkan kekerasan, penghilangan paksa, dan ribuan korban jiwa yang belum terungkap.
Komnas HAM pada 2023 mengakui 12 pelanggaran berat HAM di Indonesia, sembilan di antaranya terjadi pada masa pemerintahan Soeharto, termasuk tragedi Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh.
Koalisi juga menilai proses pengusulan gelar tidak transparan dan minim akuntabilitas.
Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat disebut tidak memperoleh akses terhadap dokumen pengusulan Soeharto.
“Berdasarkan alasan tersebut, kami menolak penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Ini bukan sekadar soal gelar, tapi tentang ingatan publik dan keadilan yang belum ditegakkan,” bunyi pernyataan delapan organisasi sipil di Banda Aceh.(R015)















