Tiga Jam Terjebak ‘Hujan Peluru’ di Lampu’uk

SIANG ITU, Pukul 13.15 WIB, akhir tahun 2000 Tiga unit Armorred Personnel Carrier (APC) Komando Distrik Militer (Kodim) 0101/KBA Aceh Besar [Kala itu Bermarkas di Kota Banda Aceh] merangsek menuju arah Lhoknga Aceh Besar, 17 kilometer arah Barat, Ibukota Aceh.

Rantis lapis baja militer, bertenaga 4.5 L (V8) dilengkapi dengan senjata serbu berat Remote Controller Weapon (RCW), dinding baja NIJ Balistic Standart Protection Level III berkaca anti peluru melaju dengan kecepatan tinggi, puluhan prajurit artileri berbaju loreng ada di dalam lambung bilik baja itu.

Prajurit besutan Letkol Joko Warsito [Saat itu], terbiasa menghadapi Medan tempur pelik, wajah-wajah bercoret hijau hitam itu terlihat sangat sangar.

Dapat kabar ada penyisiran di wilayah Lhoknga – Leupung [Markasnya Komando Operasional Wilayah kekuasaan Teungku Muharram. Kini Bupati Aceh Besar]. Pasti bakal terjadi bentrokan bersenjata antara Personil TNI Kodim 0101/KBA Aceh Besar dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Lhoknga Leupung.

Kabar ada penyisiran di wilayah Lampu’uk, datang dari Taufan Nugraha [Wartawan KBR68H], seketika posko tempat kami berkumpul [Markas eks kantor Harian Aceh Ekspress di Kuta Alam] pun riuh.

Berbagai wartawan peliput konflik Aceh masing-masing melapor ke redaksinya bahwa mereka akan melakukan peliputan. Nani Aprida dari The Jakarta Post, Muhrizal Hamzah dari Sinar Harapan, Dedi Montgomery dari Televisi, Ismail dari Detektif Spionase, Taufan Nugraha dari radio KBR68H dan aku Syawaluddin dari The Associated Press, plus Hotli Simanjuntak Wartawan Foto dari Agence France Presses (AFP).

Dua unit mobil, Taft Hiline milik Hotli Simanjuntak dan Sedan milik Ismail melaju, mengejar APC yang menuju ke arah Barat Kota Banda Aceh. Dan kru wartawan pun bergerak cepat.

Suasana jalan menuju Lampu’uk mencekam, tidak ada kendaraan berseliweran [Sepertinya masyarakat tahu akan terjadi sesuatu, mereka lebih baik berdiam diri di rumah].

Tepatnya di Gampong Simpang Rima, 8 kilometer arah Selatan Kota Banda Aceh, kami menemukan iring-iringan tiga unit APC Kodim 0101/KBA.

Tampak personil setiap APC bersiap dengan bidikan moncong senjata mesin mereka Remote Controlled Weapon Station (RCWS) kaliber 12,7 milimeter x 99 (50 cal) siaga satu dan siap menyalak ke sasaran musuh.

Sunyi, senyap, mencekam dan penuh ketakutan, itu kesan selama dalam perjalanan [Suasana itu menyergap setiap individu wartawan peliput konflik] menyelimuti kru wartawan.

Kebetulan aku satu mobil dengan Ismail [Majalah Detektif Spionase], tampak wajah Ismail begitu tegang, sebab ini kali pertama dirinya meliput konflik Aceh.

Apalagi Ismail memang belum pernah diberikan pelatihan untuk peliputan di daerah konflik. Sangat wajar jika dilema, keringat pun terlihat mengucur dari darinya, air conditioner mobil tak mampu meredam kucuran keringatnya.

Susana mencekam semakin terasa, saat melewati Kede Bieng dan mendekat ke persimpangan arah masuk ke wilayah pedalaman Lampu’uk, tak satu orang pun yang kami jumpai berselisih di jalan. Tegang bercampur gelisah menyergap.

Keraguan pun mencuat, ketika APC merangsek masuk ke arah pedalaman Gampong Lampu’uk, masyarakat seperti tahu akan terjadi sesuatu saat itu. Sebab suasananya memang sangat mencekam.

Benar saja baru sampai di dusun Meunasah Balee, sudah terdengar rentetan senjata di kejauhan dari atas Gunung [Bukit] Lampu’uk.

Seketika itu juga, APC tiba-tiba berhenti, seorang anggota kru APC keluar dan mengatakan, “Kalian bergerak jangan jauh dari kami, agar kami bisa melindungi kalian dari serangan GAM,” jelasnya.

Semua kami menganggukkan kepala, jarak mobil sedan milik Ismail pun hanya terpaut 10 meter saja dari body APC tersebut.

Degup jantung pun semakin kencang, kegelisahan Ismail semakin terlihat saat kami memasuki Meunasah Meusjid sebab dentuman senjata semakin keras.

Sekira pukul 14.00 WIB APC terdepan menerima siraman peluru M16, klenting…klenting peluru Kuningan itu membentur tubuh APC, kejadiannya tepat di belakang Meunasah [Mushala] dusun Lampu’uk Meunasah Blang.

Namun serangan sporadis yang hanya 30 detik itu tiba-tiba senyap, bagai ditelan bumi. APC memberikan perlawan dengan menembakkan senjata mesin kaliber 7.66mm ke arah penyerang.

Namun tak ada balasan, saya dan Ismail serta teman teman yang lain ikut turun, mengikuti 10 orang kru APC menyisir ke lokasi arah penyerang.

Para penyerang sudah tidak ada lagi di tempat. Kru APC hanya menemukan ransel, sepatu pacuk dan satu lembar bendera GAM yang tertinggal.

Kami pun masuk kembali ke mobil masing-masing melanjutkan penyisiran, hanya berjarak 3 kilometer dari dusun Lampu’uk tiba-tiba kami diserang secara terbuka oleh Teuntara Nasional Aceh (TNA) Sayap Militer GAM berjarak 100 meter di depan kami.

Tepatnya di Dusun Meunasah Blang, kru APC pun melepaskan tembakan balasan bertubi-tubi ke pasukan Sayap Militer GAM pimpinan Teungku Muharram.

Kru lainnya, mengikuti di luar laju APC dari kiri kanan body APC. Kami pun mengikuti dari belakang secara rapat.Pelan-pelan pasukan sayap militer GAM terpukul mundur masuk ke perbukitan Lampu’uk sambil melepaskan tembakan ke arah TNI.

Dan kami pun keluar dari mobil masing-masing, dengan gerakan tiarap merangsek mendekati kru APC yang sudah mendahului ke depan sambil melepaskan tembakan.

Tak terelakan kru APC pun memuntahkan peluru SMB RCWS berkaliber 12,7 milimeter dari luv nya. Suaranya menggemparkan seisi dusun, ledakannya dahsyat memukul mundur pasukan Teungku Muharram.

Seorang TNI menjerit melihat Ismail seperti kebingungan, “Tiarap…tiarap…tiarap,” teriaknya sambil menunjuk ke arah Ismail.

Tetapi Ismail tetap saja tegak dan berjalan ke sana ke mari, tak tentu arah. Begitu kalutnya dia, bajunya basah dengan peluh, wajahnya pucat, tingkahnya bagai orang linglung.

Aku terus merangsek, merangkak, mengikuti Muhrizal Hamzah yang tak jauh di depan ku. Kurasakan ini akhir hidupku [Di arena pertempuran 10 detik bisa merubah seseorang hidup atau mati], desingan peluru itu tak jauh dari kepala dan tubuhku hanya hitungan centimeter saja.

Aku tak terpikir lagi tentang bagaimana Ismail, sebab aku sudah jauh merangsek masuk ke dalam arena pertempuran yang hanya berjarak 250 meter saja.

Ini perang terbuka, aku melihat fisik sayap militer GAM menembakkan moncong senjatanya ke kami. Pada kondisi ini, kami sebagai jurnalis tidak bisa mengambil foto untuk mengabadikan bentrokan ini, sangat berbahaya.

Sebab tidak ada perlindungan yang memungkinkan untuk memotret, saat tembakan ter jeda beberapa detik kesempatan ini aku gunakan untuk berlari berlindung di batang pohon mangga besar.

Bentrokan bersenjata sudah 2 jam berjalan, APC pun sudah masuk mendekati arah perbukitan, memukul mundur pasukan sayap militer GAM.

Aku dan kawan-kawan tak bisa beringsut ke belakang, terlalu rawan jika tanpa pengawalan [Untuk kembali ke mobil. Jarak aku dan mobil Ismail berkisar 800 meter] sebab masih terus berlangsung.

Tiba-tiba aku melihat Muhrizal Hamzah surut ke belakang menyelamatkan senjata milik seorang prajurit yang terkena tembakan.

Akupun bergegas dengan sikap tiarap, merangsek mendekati seorang personel yang terkena tembakan senjata GAM. Paha kanan personel TNI itu jebol kena muntahan timah panas.

Aku dan Muhrizal menarik kedua tangan personil TNI yang bersimbah darah tersebut surut ke belakang, ke arah APC lalu dibantu personil TNI lainnya mengangkat temannya yang tertembak tersebut masuk ke dalam lambung APC.

Lalu memberikan pertolongan medias untuk Personil TNI yang kena tembak tersebut, agar darah tidak terus mengalir keluar dari pahanya.

“Aku tidak tahu, kalau di atas kepalaku [Pohon Asam Jawa] ada GAM, untungnya kena kaki ku dan untungnya lagi tidak mengenai tulang pahaku, secara reflek ku arahkan tembakan ke personil GAM itu, buppp…jatuh dan tak bernyawa lagi,” sebut personil TNI itu.

Tak jauh dari personil TNI yang tertembak itu [Hanya berjarak lima meter] aku melihat seorang sayap militer GAM meninggal dengan luka tembak menganga di dada kena muntahan AK-47.

Keringatku mengucur, ketakutan dan mencoba untuk tenang menghadapi situasi ini. Hatiku bergumam, “Ya Allah, mungkin ini akhir dari hayatku, tapi anakku masih merah [Bayi] ya Allah, selamatkan lah aku dari situasi mencekam ini,”.

Keuntungan bagiku, sebelum aku diterjunkan ke wilayah Konflik, kami mendapat pelatihan militer dan medis, mengenali suara tembakan, jenis senjatanya dan jarak efektifnya.

Agar kami tahu jarak radius berapa meter menghindar dan berlindung dari area konflik bersenjata yang sedang berlangsung, aku tahu harus apa dan bagaimana menghadapi situasinya.Lalu satu unit APC yang mengangkut personil TNI yang terluka perlahan surut ke belakang, menuruni perbukitan menuju Rumah Sakit di Banda Aceh.

Situasinya masih terus terjadi kontak senjata, suara dentuman RCWS memuntahkan kaliber 12,7 milimeter itu menggelegar, membahana ke seluruh pelosok empat dusun di Lampu’uk memekakkan genderang telinga.Gempuran pasukan personil TNI dan dua APC memaksa pasukan militer GAM mundur ke arah laut di balik gunung Lampu’uk. Sedikit demi sedikit suara nyalak bedil tak terdengar lagi.

Aku dan teman-teman mulai beringsut menapak ke bawah, menunduk dan zig zag agar jika ada tembakan bisa terhindar.

Rasa was-was masih terus menyelimuti aku dan kawan-kawan, satu jam lamanya kami menuruni perbukitan dan parit. Akhirnya sampai ditempat mobil terparkir.

Dua APC mengiringi kami keluar dari lokasi bentrokan senjata TNI dan GAM Wilayah Lhoknga Leupung besutan Teungku Muharram.

Unit APC mengantar kami hanya sampai ke simpang tiga arah Lhoknga, Lampu’uk dan Banda Aceh. Lalu balik lagi ke lokasi pertempuran menyisir wilayah itu dan menyerahkan mayat yang tertembak ke kampung.

Tiga jam, telah berlalu, membuat bergidik bulu kuduk, mencekam dan kucuran keringat ketakutan menemani vonis hidup atau mati ku di pedalaman Gampong Lampu’uk.

Sampai kapan pun tak terlupakan, bahwa aku dan kami sekalian adalah bagian dari perjalanan panjang, 32 tahun konflik Aceh menoreh dan mencatat hitam putihnya pergolakan itu, Wallahu’alam Bishawab. [*].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *