[Iliza Sa’aduddin Djamal, Walikota Banda Aceh]
“Listrik itu bukan Cuma soal terang. Ini soal keamanan, efektivitas bantuan, dan martabat manusia.”
MALAM turun perlahan di kampung yang belum sepenuhnya kering. Lumpur masih melekat di dinding rumah, air keruh mengalir malas di parit-parit darurat, dan bau sisa banjir bercampur dengan aroma kayu basah.
Ketika cahaya terakhir matahari hilang, yang tersisa bukan hanya gelap—melainkan kecemasan.
Di tempat seperti ini, gelap bukan sekadar ketiadaan listrik. Ia menjelma ancaman.
“Kalau malam, kami tidak berani masuk ke kampung-kampung. Terlalu rawan,” kata Iliza Sa’aduddin Djamal, Walikota Banda Aceh, saat berdiri di antara relawan dan aparat. Nada suaranya datar, tetapi sarat kehati-hatian.
Pengalaman lapangan mengajarkannya bahwa bencana tak pernah berhenti ketika air surut.
Justru setelah banjir pergi, masalah yang lebih sunyi muncul: keamanan, kesehatan, dan martabat manusia.
LISTRIK DAN RASA AMAN
ILIZA menyebut listrik sebagai kunci. Bukan karena simbol modernitas, tetapi karena fungsinya yang paling mendasar; menerangi. Tanpa lampu, malam menjadi ruang tanpa kontrol. Kerumunan mudah terbentuk, emosi mudah meledak, dan bantuan sulit bergerak.
“Kalau terang, masyarakat bisa bekerja sampai malam. Bantuan juga bisa masuk lebih efektif. Kami pun berani datang,” ujarnya.
Di lokasi bencana, waktu adalah segalanya. Siang hari sering tidak cukup. Pembersihan rumah, distribusi logistik, dan pelayanan kesehatan membutuhkan jam tambahan.
Namun tanpa listrik, semua berhenti menjelang magrib. Negara seolah ikut pulang bersama matahari. Padahal, di situlah warga paling membutuhkan kehadiran.

KOTA YANG SEPERTI MATI
MASUK lebih ke dalam kampung, Iliza menyebut pemandangan yang ia lihat seperti “kota mati”. Perabotan rumah tangga habis. Kasur, lemari, pakaian [semuanya lenyap atau rusak]. Lantai rumah tertutup lumpur, sebagian air masih menggenang hingga sepinggang di bagian belakang rumah.
Namun di tengah kehancuran itu, warga perlahan kembali. Bukan untuk tinggal nyaman, melainkan untuk membersihkan sisa hidup yang bisa diselamatkan.
“Walaupun hanya lantainya saja yang bersih, itu lebih baik daripada mereka terus di tenda,” kata Iliza.
Kalimat itu mencerminkan pendekatan pemulihan yang sering luput dari statistik; psikologi bertahan hidup. Rumah [meski rusak] memberi rasa memiliki.
Tenda, sebaliknya, hanya menawarkan perlindungan sementara tanpa kepastian.
AIR BERSIH DAN JARAK YANG MELELAHKAN
JIKA listrik adalah soal waktu dan keamanan, maka air bersih adalah soal tenaga dan keadilan. Banyak warga harus berjalan jauh, melewati kebun sawit, menuruni tanah licin, hanya untuk mengambil air. Ironisnya, kesulitan itu dirasakan merata.
“Mau yang punya mobil atau tidak, sama saja. Jauh,” ujar Iliza.
Krisis ini menghapus perbedaan kelas sosial. Semua orang berada dalam posisi yang sama; haus, lelah, dan tergantung pada bantuan.
Pemerintah Kota Banda Aceh bersama PDAM tak hanya menyuplai air, tetapi juga mengajarkan cara mengolah air secara sederhana. Dengan bahan kimia dasar, air dari sumber mana pun bisa diolah hingga layak minum.
Di tengah keterbatasan logistik, pengetahuan menjadi bentuk bantuan yang paling berkelanjutan.
BUKAN SEKADAR SEMBAKO
ILIZA menekankan bahwa bantuan pasca bencana tak bisa berhenti pada sembako. Yang dibutuhkan warga justru alat-alat dasar untuk memulihkan ruang hidup; alat berat, cangkul, sepatu boot, truk, dan perlengkapan kebersihan.
Tanpa alat berat, lumpur yang mengeras mustahil dibersihkan. Tanpa sepatu, lansia dan anak-anak berjalan di air kotor dengan risiko infeksi.
Tanpa akses jalan, rumah-rumah tetap terkunci oleh genangan.
Negara, dalam konteks ini, tidak cukup hadir dengan paket bantuan. Ia harus membuka jalan [secara harfiah dan simbolik].

ANAK-ANAK DAN RUMAH HEALING
DI TENGAH puing-puing, suara tawa anak-anak terdengar samar. Pemerintah Kota Banda Aceh mendirikan rumah healing—ruang sederhana tempat anak-anak diajak bermain, membaca buku, menerima susu dan makanan tambahan.
Trauma tidak selalu muncul dalam bentuk tangis. Kadang ia mengendap diam, menunggu waktu untuk muncul. Bermain adalah cara paling sederhana untuk mencegah luka itu membesar.
“Anak-anak kita ajak main lagi, baca buku lagi,” kata Iliza.
Di lokasi bencana, pemulihan psikologis sering kalah prioritas dari logistik. Padahal, trauma yang dibiarkan justru menjadi bencana lanjutan.
PENGUNGSIAN DAN PEREMPUAN YANG TERLUPAKAN
DI DPRK, pengungsian manusia dibuka. Masjid dibersihkan. Bantuan datang silih berganti. Namun Iliza menyoroti satu hal yang kerap tak terucap; kebutuhan biologis perempuan.
“Perempuan butuh pakaian dalam, kebutuhan haid, ibu menyusui. Ini sering tidak disampaikan,” ujarnya.
Di lapangan, kebutuhan seperti pembalut, pakaian dalam, dan ruang privasi sering dianggap sekunder. Padahal, bagi perempuan, hal-hal inilah yang menentukan apakah mereka bisa bertahan dengan bermartabat.
Bencana, tanpa perspektif gender, mudah berubah menjadi ketidakadilan berlapis.
RELAWAN DAN NEGARA YANG HADIR
SEKITAR 340 relawan dari Pemerintah Kota Banda Aceh turun langsung ke lapangan. Mereka berkolaborasi dengan mahasiswa, yayasan sosial, DPR RI, dan berbagai elemen masyarakat. Di tengah keterbatasan, kolaborasi menjadi satu-satunya cara bertahan.
“Bantuan tetap harus datang, meskipun mereka tidak tinggal di tenda. Karena mereka sudah tidak punya apa-apa,” kata Iliza.
Pernyataan ini menyentuh inti persoalan kebencanaan di Indonesia: negara sering hadir terlambat, tetapi publik berharap ia hadir sepenuhnya.
GELAP SEBAGAI METAFORA
GELAP di kampung bencana bukan hanya soal lampu yang padam. Ia adalah metafora tentang keterbatasan sistem, lambannya respons, dan rapuhnya perlindungan sosial. Tanpa listrik, tanpa air bersih, tanpa akses jalan, warga bukan hanya kehilangan rumah—mereka kehilangan kendali atas hidupnya.
Dalam situasi seperti ini, terang menjadi simbol paling dasar dari kehadiran negara.
MENUNGGU TERANG
MALAM kembali turun. Di beberapa sudut, lampu masih padam. Warga duduk di beranda rumah yang lantainya baru setengah bersih, menunggu esok dengan perasaan campur aduk.
Banjir mungkin telah surut. Tetapi pemulihan belum selesai. Di tempat seperti ini, terang bukan kemewahan. Ia adalah kebutuhan dasar, penanda bahwa hidup masih mungkin dilanjutkan.
Ketika lampu akhirnya menyala, yang kembali bukan hanya cahaya. Melainkan rasa aman, harapan, dan keyakinan bahwa mereka tidak ditinggalkan sendirian dalam gelap.(S004)















