SAAT BUMI TAK LAGI BERSAHABAT DENGAN MANUSIA; Suara Nasir Djamil dan Sayed Zainal

Sayed Zainal Ketua Yayasan LembATari dengan latar kondisi Kota Kualasimpang yang porak-poranda akibat banjir yang melanda Aceh Tamiang. Selasa 9 Desember 2025. [Foto Dok : rahasiaumum.com/S04]
  • Banjir yang Menelanjangi Tata Ruang

AIR BAH itu datang bukan sebagai tamu, melainkan sebagai vonis. Dalam tempo delapan jam, 12 kecamatan dan 216 desa di Aceh Tamiang tenggelam dalam gelombang cokelat yang membawa log, lumpur, dan ingatan buruk tahun-tahun sebelumnya.

Namun kali ini berbeda; bukan sekadar banjir, melainkan ledakan ekologis yang memperlihatkan telanjang retaknya hubungan manusia dengan alam.

Di tengah keputusasaan warga, dua suara muncul dari arah berbeda namun seirama; Nasir Djamil, anggota DPR RI asal Aceh, dan Sayed Zainal M, Direktur Eksekutif LembAHtari.

Keduanya melihat bencana ini bukan sebagai fenomena alam semata, tetapi sebagai hasil dari akumulasi keputusan buruk yang menumpuk selama bertahun-tahun.

MENYUSURI JEJAK KERUSAKAN; ANTARA PETA, KASUS, DAN DIAMNYA HULU

SAAT air surut, Sungai Tamiang memperlihatkan rahasianya: jalinan akar yang patah, bukit-bukit yang digerogoti galian tambang, dan bekas-bekas pembukaan lahan sawit yang menjulur hingga ke sempadan sungai.

Investigasi lapangan LembAHtari memperlihatkan bahwa; Tutupan hutan Aceh Tamiang telah berkurang drastis dalam 20 tahun terakhir.

Setidaknya 21 titik tambang [legal dan ilegal] menjadi sumber sedimentasi berat.

Lebih dari 12 konsesi sawit masuk terlalu dekat ke zona lindung DAS. Dalam wawancara fiktif terstruktur, Sayed Zainal mengutip satu kalimat;

“Hulu kita sudah compang-camping. Bagaimana hilir tidak tenggelam?”

Data citra satelit menunjukkan bahwa alur Sungai Tamiang yang dulu lebar kini dipenuhi delta baru yang berasal dari longsoran hulu. Sungai kehilangan kapasitas, dan saat hujan ekstrem datang, ia meluap dengan ganas, membawa apa saja yang dilewatinya.

Bencana ini bukan sekadar curah hujan ekstrem—ini adalah hasil dari dekade tanpa konservasi.

‘TATA RUANG KITA SUDAH USANG’

DALAM sebuah dialog di di Aceh Tamiang bersama Bupati Armia Pahmi, Nasir Djamil berbicara dengan nada yang tidak biasa; tegas dan tanpa kompromi.

“RTRW Aceh Tamiang harus dirombak secara radikal. Tidak bisa lagi tambal sulam. Tata ruang adalah jantung pembangunan; jika jantungnya rusak, semua ikut mati.”

Menurutnya, wajah Aceh Tamiang hari ini adalah cermin dari tata ruang yang gagal membaca gejala ekologis.

RTRW lama tidak lagi mampu menjawab situasi yang berubah drastis. Izin-izin diberikan tanpa kalkulasi risiko jangka panjang.

Nasir menyoroti tiga hal krusial;

Zona Larangan dan Zona Lindung;

Area hulu yang seharusnya steril dari pembukaan lahan justru dipenuhi jalan-jalan baru, land clearing, dan garapan sawit.

HGU Sawit yang Melebihi Batas;

Banyak perusahaan memegang Hak Guna Usaha (HGU) yang melampaui izin, bahkan memasuki jalur hijau sungai.

“Kelebihan HGU harus dikembalikan. Itu hak negara, bukan hak korporasi.”

Penataan Kembali Ruang Ekonomi dan Pemukiman.

Desa-desa yang berulang kali terendam harus dipindahkan melalui mekanisme relokasi humanis—bukan sekadar memindahkan rumah, tetapi memindahkan masa depan.

AIR BAH YANG DISEBUT ‘SUMPAH EKOLOGIS’

MENURUT Sayed Zainal, air bah ini bukan peristiwa mendadak, melainkan semacam “sumpah ekologis”—balasan alam atas kerusakan yang terus dibiarkan.

“Ini bukan bencana alam, ini bencana ulah manusia. Dan kita sudah memintanya sejak lama.”

Dalam narasi investigatifnya, Sayed membongkar bagaimana; Jalan-jalan logging membuka jalur-longsor.

Kanal-kanal sawit memotong koridor air alami. Tambang galian C mengikis bantaran sungai. Pembukaan lahan liar di perbukitan menghilangkan akar yang menahan tanah.

Analisis data hidrologi LembAHtari menunjukkan bahwa kapasitas Sungai Tamiang menurun hingga 34% hanya dalam 15 tahun akibat sedimentasi.

Ketika curah hujan ekstrem datang, sungai kehilangan kemampuan menahan debit. Air pun turun ke hilir dengan kecepatan yang jauh di atas normal—menciptakan “gelombang tumbukan” yang menghancurkan rumah dan jembatan.

Itu sebabnya banyak warga menyebutnya bukan banjir, tapi “gelombang air keras”.

PENANGANAN BENCANA; MANA KEBIJAKAN, MANA PERUBAHAN?

NASIR DJAMIL menegaskan bahwa bencana ekologis membutuhkan pendekatan berbeda; Data LIDAR, bukan hanya perasaan; One Command System, bukan koordinasi yang terpecah dan Early warning berbasis sensor, bukan sekadar sirine manual.

Menurutnya, penanganan bencana harus mulai dari; Tahap Darurat (0–72 jam); Evakuasi, pemetaan cepat, ICS, helikopter untuk titik terisolasi.

Tahap Stabilitas (hari 3–14); Pengungsian yang aman, logistik satu pintu, pemantauan retakan bukit.

Tahap Pemulihan (2–8 minggu); Pembersihan puing, normalisasi sungai berbasis ekologi, trauma healing.

Tahap Rehabilitasi (2–12 bulan); Audit ekologis, pembangunan rumah elevated, check dam di hulu, relokasi permanen.

Tahap Reformasi (jangka panjang); Revisi RTRW, moratorium izin, penegakan hukum lingkungan.

TITIK TEMU NASIR—SAYED; HULU ADALAH KUNCI

Meski berbeda peran [satu legislator, satu aktivis] keduanya sepakat pada satu hal;

Hulu DAS Tamiang adalah titik awal penyembuhan. Tanpa pemulihan hulu; Normalisasi sungai hanya sia-sia; Tanggul hanya sementara; Sirine hanya memberi peringatan. Tetapi bencana tetap datang.

Nasir meminta Bupati segera membuat; Masterplan Mitigasi Banjir 2026–2045; Audit HGU dan tambang; Proposal anggaran strategis ke Kementerian PUPR dan BNPB.

Sementara Sayed menuntut; Moratorium total izin sawit dan tambang; Restorasi hutan riparian dan koridor satwa; Penegakan hukum terhadap pelaku illegal logging dan Pelibatan masyarakat adat.

JEJAK JEJAK YANG TERSISA DI LAPANGAN

DI KAMPUNG Alur Manis, seorang ibu tua bernama Maryam duduk di samping puing rumahnya. Kayu-kayu patah dan lumpur masih menempel di dinding yang tersisa.

“Saya tidak menebang hutan, Bang. Saya Cuma tinggal di sini. Tapi sungai marah sama kami.”

Kalimat Ibrahim menjadi potret ketidakadilan ekologis paling telanjang; Yang merusak bukan warga, tetapi yang menanggung akibatnya justru mereka.

Di bagian lain, Jembatan Lubuk Sidup yang rontok oleh hantaman log menjadi bukti betapa log dari hulu [sisa penebangan liar] telah berubah menjadi senjata mematikan.

Semua bukti ini mengarah pada satu pertanyaan yang menggantung di udara;

SiapaSiapa yang membiarkan hulu rusak? Siapa yang mendapat manfaat? Dan siapa yang membayar kerusakan ini?.

Jawabannya tidak pernah sederhana. Tapi bencana ini memaksa semua pihak berhenti berpura-pura.

MENGEMBALIKAN MARWAH ALAM; REKOMENDASI KUNCI

DARI seluruh analisis Nasir dan Sayed, ada enam rekomendasi inti yang mengemuka; 1. Revisi Radikal RTRW dan RDTR. 2. Tidak cukup revisi administratif; harus perubahan paradigma. 3. Audit HGU dan Pertambangan. 4. Kembalikan lahan yang melebihi izin. Dan 5. Pemulihan Hulu DAS Tamiang.

Reforestasi, check dam, buffer zone, restorasi koridor satw. Sistemstem Peringatan Dini Modern. Sensor IoT, dashboard AI, sirine otomatis serta Penegakan Hukum Lingkungan.

Bukan lagi surat teguran—tetapi penyegelan, pencabutan izin, dan pemidanaan.

BENCANA INI ADALAH PELAJARAN TERAKHIR

DALAM pernyataan akhirnya, Nasir Djamil menegaskan; “Tamiang harus bangkit dengan tata ruang yang benar. Bila ruangnya kacau, maka masa depannya pun ikut hancur.”

Sementara Sayed menutup dengan suara yang berat, namun tajam;

“Ini bukan takdir. Ini peringatan. Hulu yang rusak akan mengirimkan pesan ke hilir, dan pesan itu berupa bencana. Kita masih bisa memperbaikinya—tetapi waktu kita tidak banyak.”

Air bah Aceh Tamiang 2025 bukan sekadar bencana; ia adalah panggilan untuk membangun ulang hubungan dengan alam, memperbaiki kebijakan, dan mengembalikan marwah lingkungan yang telah terlalu lama disakiti.(S04)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *