48 JAM YANG MENENTUKAN; ‘Investigasi Dua Pekan Aceh Terputus dan Ledakan Suara Nasir Djamil’

Nasir Djamil, Anggota DPR RI Asal Aceh, Fraksi PKS. Selasa 9 Desember 2025. [Foto Dok : Pribadi/rahasiaumum.com]

Nasir Djamil, Anggota DPR RI Asal Aceh, Fraksi PKS

“Setiap jam keterlambatan bisa berarti satu nyawa hilang. Karena itu saya minta pembukaan isolasi tuntas dalam 48 jam.”

KETIKA BANTUAN LAMBAT, BIROKRASI BERSILANG, DAN HIDUP WARGA BERJALAN DI TEPI PUTUS HARAPAN

PADA hari ke-14 pasca-banjir bandang dan longsor besar yang menghantam Aceh–Sumut–Sumbar, sejumlah wilayah masih terkubur dalam kesunyian yang asing. Tanpa listrik, tanpa akses, tanpa informasi [dan tanpa negara].

Di pedalaman Gayo Lues, warga sebuah dusun terpencil hanya menggantungkan harapan pada sebuah radio tua yang baterainya tinggal setipis harapan mereka.

Di Aceh Tamiang, warga di tiga desa meminum air hujan yang ditadah dari talang seng.

Di Aceh Tenggara, dua anak demam tinggi [yang harusnya bisa selamat bila mendapat pengobatan cepat] digendong enam jam menyusuri bukit untuk mencapai pos medis terdekat.

Dua pekan isolasi mengajukan satu pertanyaan yang menggigit nurani banyak orang;

_Apa yang sesungguhnya terjadi?

Mengapa negara tak hadir ketika nyawa dipertaruhkan?_

Di Pengungsian wilayah Aceh Tamiang, suara keras itu datang dari seorang wakil Aceh di Senayan—Nasir Djamil. Kata-katanya tajam, bahkan bagi standar DPR; “Bebaskan isolasi dalam 48 jam. Tak ada alasan.”

Namun di balik pernyataan itu, ada potret lebih kelam; Kewenangan tumpang tindih, rantai birokrasi patah, mitigasi yang tidak siaga, dan budaya administrasi yang lebih takut audit daripada kehilangan nyawa.

rahasiaumum.com mengurai jejaknya.

TITIK-TITIK GELAP DI PETA ACEH

HASIL penelusuran tim relawan, BPBD tingkat kecamatan, dan perangkat desa menunjukkan 12 titik terisolir yang tidak tersentuh bantuan selama 10–14 hari.

Dua yang terburuk berada di; Pedalaman Gayo Lues; Pinggiran hutan Aceh Tenggara

Akses ke sana bukan sekadar rusak.

Ia lenyap. Hilang. Terbawa arus beserta mimpi warga.

Di Dusun Putri Betung, warga bertahan hidup dengan pucuk paku, umbi liar, dan kayu basah untuk menghangatkan tubuh.

Gelap menelan malam—lampu minyak habis, listrik tak pernah kembali.

Ironisnya, titik itu hanya berjarak 80 km dari ibu kota kabupaten, namun jalur satu-satunya hilang. Jalan memutar harus ditempuh hampir 9 jam berjalan kaki.

Di Aceh Tamiang, Harun (46), warga yang selamat setelah menyeberang sungai, berkata dengan suara serak; “Hari ke-12 baru kami dapat bantuan. Itu pun sedikit. Kami hidup karena kampung tetangga datang menyusuri sungai.”

Dari segala laporan, sebuah pola mencolok; Bukan hanya alam yang memutus akses—tapi juga lembaga-lembaga penanggulangan bencana yang berjalan tanpa satu peta, tanpa satu komando.

KACAU KOORDINASI; ANTARA LAPORAN DAN LAPANGAN

Dalam investigasi_rahasiaumum.com_, sejumlah pejabat daerah mengakui adanya bottle neck koordinasi yang nyaris absurd.

Laporan jalan putus sudah masuk sejak hari kedua; Namun alat berat tak bergerak karena menunggu surat dari kabupaten.

Kabupaten menunggu instruksi provinsi; Provinsi menunggu arahan pusat dan Sementara warga menunggu keajaiban.

Di Aceh Tamiang, roda pemerintahan lumpuh total.

Seorang pejabat tingkat kabupaten berkata lirih; “Ini seperti 2006. Tapi kali ini tidak ada tsunami [yang ada adalah kelambanan kita].”

Nasir Djamil menegaskan hal yang sama dalam pernyataan kerasnya; “Ini bukan soal administrasi. Ini soal nyawa. Kalau jalan tidak dibuka dalam 48 jam, korban bukan mati karena bencana—tapi karena kelaparan dan penyakit.”

MENGULITI EMPAT SUMBER KELAMBANAN

INVESTIGASI memperlihatkan empat akar masalah yang membuat pembebasan isolasi berjalan seperti siput di jalan berlumpur.

Alat Berat BUMN ‘Terkunci’ dalam SOP Proyek. Di Aceh–Sumut, alat berat BUMN seperti; Waskita Karya, Hutama Karya dan Pelindo. Berada tidak jauh dari titik bencana.

Namun SOP perusahaan mewajibkan perintah tertulis resmi. Tanpa surat, alat tidak boleh dipindahkan—karena takut audit, BPK, dan sanksi hukum.

Seorang pimpinan proyek mengaku, “Kami paham kondisi darurat. Tapi tanpa surat, kami bisa salah secara hukum.”

Bagi Nasir, ini keterlaluan; “Ini jerat administratif yang tidak relevan ketika nyawa melayang.”

Data Lapangan Tidak Sinkron, Banyak kasus; Desa dilaporkan sudah menerima bantuan [padahal belum]. Jalan dilaporkan sudah bisa dilalui [padahal relawan menemukan masih terputus].

Akibatnya, prioritas salah sasaran.

Bantuan mengalir ke wilayah yang lebih mudah dijangkau, bukan yang paling kritis.

Penilaian Risiko Lereng yang Terlalu Lama

Untuk daerah longsor berat, alat berat menunggu survei geologi sebelum masuk. Prosedur ini benar—namun lambat.

Relawan menilai, terkadang protokol keselamatan menjadi alasan pembenaran untuk tidak bergerak cepat.

Prioritas Antarinstansi Tidak Sama

BNPB, PUPR, BPBA, kabupaten, dan provinsi tidak berada dalam satu komando. Setiap lembaga membuat prioritas sendiri. Akibatnya, titik paling kritis justru dilewati.

Nasir menyebutnya terang-terangan; “Ada ego sektoral yang mematikan.”

GAGASAN RADIKAL; PRESIDEN BERKANTOR DI ACEH

DI TENGAH kekacauan koordinasi, pernyataan Nasir paling menggelegar adalah dukungan agar Presiden Prabowo berkantor sementara di Aceh.

Beberapa menyebut ini politis.

Namun pejabat daerah yang diwawancarai justru berkata sebaliknya:

“Kalau Presiden datang, semua instansi pusat bergerak. Tidak ada yang berani menunda.”

Bagi Nasir, ini bukan simbolisme.

Ini soal command and control. “Keputusan yang biasanya butuh tiga hari bisa diputuskan dalam 30 menit.”

Dalam catatan investigasi, asa itu punya tiga dampak besar; Komando tunggal untuk instansi pusat–daerah. Percepatan pengerahan alat berat dan logistik dan Efek psikologis bagi warga yang merasa benar-benar diperhatikan.

ACEH DAN SIKLUS BENCANA YANG BERULANG

Data 10 tahun terakhir menunjukkan pola yang sama; Banjir bandang tiap tahun. Longsor di lintasan pegunungan. Infrastruktur ekstrem rentan. Penanganan lambat. Koordinasi tumpang tindih.

Seorang akademisi berkata; “Aceh terlalu tergantung pada satu akses jalan. Saat itu putus, semuanya lumpuh.”

Inilah mengapa pernyataan Nasir terasa tidak sekadar politis;

Ia adalah alarm keras tentang kegagalan struktural yang terus dibiarkan.

WAJAH-WAJAH YANG MENUNGGU NEGARA

DI ACEH TENGGARA, seorang ibu tidur di bawah terpal robek selama 11 hari bersama dua anaknya, menunggu kabar suami yang hanyut pada hari pertama banjir.

Di Gayo Lues, Mustafa, petani kopi, kehilangan rumah dan jembatan kecil yang ia bangun sendiri. Namun ia tetap bertahan di desanya:

“Kami tunggu pemerintah datang. Kalau kami pergi, siapa yang nanti ditemukan?”

Di tempat-tempat gelap seperti inilah kata “nyawa” Nasir menemukan konteksnya.

MENAGIH NEGARA YANG LEBIH CEPAT DARI BENCANA

PADA hari ke-15, sebagian titik baru bisa ditembus setelah alat berat pusat dan BUMN digerakkan.

Terlambat—walau tetap berarti bagi yang masih bertahan hidup.

Anak-anak menjalani perawatan seadanya. Ratusan warga terpaksa hidup berbulan-bulan di posko kecil berlumpur. Jejak trauma akan tinggal bertahun-tahun.

Aceh selalu menjadi wilayah dengan penantian paling panjang setiap bencana. Bagi Nasir Djamil, penantian itu harus diakhiri.

“Negara tidak boleh datang setelah semuanya hancur. Negara harus datang untuk mencegah kehancuran.”

SUARA TERAKHIR DARI SENAYAN

“Setiap jam keterlambatan bisa berarti satu nyawa hilang. Karena itu saya minta pembukaan isolasi tuntas dalam 48 jam.”

“Bencana tidak mengenal kewenangan. Yang sering terjebak dalam kewenangan justru kita di pemerintahan.”

“Presiden berkantor di Aceh bukan soal simbolisme. Ini soal efektivitas penyelamatan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *