- Hari Ketika Negeri Muda Sedia Seakan Dihapus dari Peta Bumi
PAGI ITU, Rabu 26 November 2025, Aceh Tamiang seperti tubuh manusia yang kehilangan nadinya. Listrik padam. Tower komunikasi ambruk. Jaringan internet sekarat. Jalan negara putus total. Ribuan rumah hanyut.
Ratusan warga dilaporkan meninggal dunia; ada yang digilas log raksasa, ada yang tenggelam, ada pula yang membeku kedinginan di malam-malam tanpa api, tanpa cahaya.
Dari udara, Aceh Tamiang tampak seperti danau luas tanpa tepi. 216 kampung di 12 kecamatan lenyap ditelan air. Kota Kualasimpang tenggelam hingga delapan meter.
Di beberapa titik, ketinggian air mencapai 10 meter [sepuluh meter, setara lantai tiga gedung pemerintah di Karang Baru].
“Ini bukan banjir bandang. Ini di atas banjir bandang.” begitu warga mengatakan dalam laporan televisi nasional pada 27 November.
Banyak media membandingkan bencana ini dengan banjir 2006 [yang tragis dan tak terlupakan] namun tahun 2025 jauh melampaui itu.
Di tengah situasi yang kacau total itu, satu sosok bergerak menembus deru arus, dan ribuan batang kayu log yang menghantam dari hulu DAS Tamiang; Irjen Pol (P) Drs. Armia Pahmi, MH, Bupati Aceh Tamiang.
Ketika Tamiang Menggulung Diri Sendiri
HUJAN turun tanpa henti selama delapan hari. Di hulu, Gayo Lues diguyur badai yang tak pernah berhenti. Pada Sabtu, 20 November 2025, warga di Pining mengirim kabar;
“Air naik 1,5 meter setiap dua jam. Kirim info ke Aceh Tamiang, cepat! Besok pagi air akan tiba.”
Pesan itu menyebar, tapi tak cukup cepat untuk menyadarkan semua orang. Di Aceh Tamiang sendiri, intensitas hujan sudah membuat 216 kampung tenggelam sejak 22 November.
Tinggi muka air di Rantau mencapai 95 cm, melewati level siaga. Bukit Semadam longsor. Alur Gantung tertimbun tanah bergerak. Lima warga meninggal tertimbun dan baru bisa dievakuasi besoknya.
Di dusun-dusun, warga terjebak di atap rumah. Anak-anak menangis kelaparan. Dari kampung Air Tenang hingga Kota Lintang, dari Seumadam hingga Tanah Berongga, jeritan minta tolong terdengar di setiap sisi, tapi tak ada alat komunikasi yang hidup.
PLN mati sejak 25 November. Telkomsel lumpuh. ORARI pun kesulitan menjangkau sinyal. Aceh Tamiang seperti kapal pecah di tengah samudra.
Detik Ketika Bupati Memutuskan Turun ke Arus
PUKUL 14.20 WIB, Rabu 26 November, Bupati Armia Pahmi menerima laporan bahwa; Jaringan telekomunikasi padam total. Ribuan warga terjebak tanpa makanan. Sungai Tamiang mengganas, menyeret ribuan log raksasa dari hulu. Rumah sakit karam. BPBD tak bisa berkomunikasi dengan pusat.
Satu-satunya cara berhubungan dengan pemerintah provinsi atau nasional hanya melalui Kantor ORARI di Perumahan Prabu, Desa Paya Bedi, tetapi kantor itu berada di wilayah yang telah dikepung arus deras sampai 7 meter.
Sore itu Bupati Armia berkata kepada dua pejabat SKPK yang mendampinginya, Surya dan Bayu:
“Kalau kita tidak bisa komunikasi, orang-orang kita bisa mati satu per satu. Kita harus menembus Prabu malam ini.”
Mereka menumpangi perahu motor 15 PK. Hasilnya; tak bergerak sedikit pun. Perahu terseret arus balik. Beberapa kali hampir terbalik. Batang kayu raksasa menghantam lambung perahu. Mereka kembali ke dermaga, berganti mesin ke 25 PK.
Sopir perahu berusaha menolak. “Pak, ini arus gila. Kita bisa mati.”
Tapi Bupati Armia menatap kampung yang tenggelam, lampu-lampu yang padam, jeritan warga dari kejauhan; semua meneguhkan satu keputusan
“Kalau saya mati, itu risiko jabatan. Tapi kalau saya diam, itu pengkhianatan.”
Heroisme dalam Malam Gelap Tanpa Listrik
MALAM turun cepat. Tidak ada cahaya. Tidak ada suara selain raungan air yang menghantam apa saja di jalurnya.
Perahu 25 PK mulai bergerak. Pelan. Kemudian menanjak menembus pusaran yang seolah ingin menarik siapa pun ke dalam gelap.
Di sepanjang perjalanan, ratusan batang kayu log menyambar seperti peluru kayu. Hampir setiap dua menit Bupati Armia harus menunduk, memegang tepian perahu, memiringkan tubuh agar tidak terlempar.
Di tengah perjalanan, arus memutar perahu hingga hampir menukik ke satu sisi. Bayu berteriak, mencoba menahan mesin.
“Pak! Balik saja! Ini sudah gila!”
Armia menatap ke depan. Di kejauhan, lampu kecil dari kantor ORARI tampak seperti kunang-kunang.
“Kalau kita balik sekarang, besok tidak ada lagi yang bisa kita selamatkan.”
Dengan sisa tenaga, nakhoda memacu mesin. Setelah hampir dua jam melawan arus, perahu akhirnya mencapai halaman Perumahan Prabu yang sudah berubah menjadi danau raksasa.
Bupati turun dengan tubuh basah, lutut gemetar, tapi wajahnya tetap tegas. Ia langsung naik ke lantai dua kantor ORARI sambil berteriak:
“Hubungkan saya dengan provinsi! Sekarang!” Dari laporan ORARI Aceh Tamiang yang sempat diberitakan media lokal;
“Bupati datang dalam kondisi basah kuyup dan wajah penuh lumpur. Beliau memaksa kami membuka jalur komunikasi, dan setelah beberapa kali percobaan, akhirnya tersambung.”
Saat itu, melalui radio gelombang pendek, suara Armia Pahmi terdengar serak ketika berkata:
“Aceh Tamiang kolaps. Kami butuh bantuan nasional.”
Itu adalah pertama kalinya pemerintah provinsi dan pusat mengetahui skala sebenarnya dari bencana.
Dari Prabu ke Banda Aceh; Mengejar Waktu, Mengejar Nyawa
Kamis, 27 November 2025. Bupati Armia berangkat ke Banda Aceh. Jalan darat tak mungkin dilalui. Ia menggunakan jalur udara dari basecamp TNI yang hanya bisa dijangkau setelah berjalan kaki menembus banjir setinggi pinggang.
Di kantor gubernur, Armia langsung mengikuti rapat darurat. Dalam rekaman media Provinsi Aceh, ia berkata;
“Kami butuh makanan. Air bersih. Tenda. Tenaga kesehatan. Komunikasi. Apa saja. Aceh Tamiang darurat total.”
Ia memaksa agar pemerintah pusat menetapkan Aceh Tamiang sebagai bencana berskala nasional.
Malam itu, Menteri Sosial dan BNPB mengonfirmasi status darurat. Bantuan logistik mulai disiapkan. Namun distribusi terhambat karena jalur darat dan udara terputus.
Jumlah yang Tak Terhitung
PADA 29 November, tim SAR akhirnya menemukan banyak jenazah mengapung. Sebagian terjebak di rumpun bambu. Sebagian lagi hanyut ke arah Aceh Timur.
Angka pastinya tidak pernah benar-benar diketahui. Listrik masih padam. Internet mati. Administrasi kacau. Banyak yang tidak punya identitas.
“Semua seperti kiamat kecil,” ujar seorang warga Kota Lintang kepada media nasional.
Ribuan rumah hanyut. 10 kecamatan luluh lantak. Dua ratus lebih kampung hilang dari peta.
Ketika Wakapolri Turun ke Lokasi
RABU, 3 Desember 2025. Wakapolri tiba di Aceh Tamiang.
Ia menyusuri Air Tenang, Karang Baru, dan pinggir sungai yang kini tinggal menyisakan puing rumah, perabot rusak, dan bau lumpur yang menyengat.
Dalam kunjungan itu ia mengatakan; “Bencana ini sangat dahsyat. Jauh melebihi laporan awal.”
Ia membawa bantuan makanan, air bersih, dan dukungan personel. Namun skala kerusakan jauh lebih besar dari yang dibayangkan.
Para Pahlawan Sunyi; Dari Datok Ratmanto hingga Karyawan PT Sisirau
Di balik kepanikan itu, ada nama-nama yang tak banyak disebut.
Ratmanto, Datok Penghulu Alur Gantung, membuka dapur umum bersama PT Sisirau.
Menurut kesaksian warga; “Dari hari pertama Datok tidak tidur. Ia mendirikan tenda darurat, memasak, membagi makanan, dan mengevakuasi warga.”
PT Sisirau menampung 200 warga, memberi tempat tinggal sementara, dan menyediakan makanan bagi santri serta sopir yang terjebak.
Excavator serta Scopel PT Sisirau dan PT Alur Gantung membersihkan longsor di Semadam. Para relawan ORARI mempertaruhkan nyawa memastikan komunikasi tetap hidup.
Tapi semua itu tetap tak cukup menahan skala kerusakan.
Saat Semua Infrastruktur Runtuh Sekaligus
TIDAK ada listrik selama berhari-hari. Tidak ada sinyal. Tidak ada ATM bekerja. Tidak ada toko buka. Tidak ada pasar. Tidak ada transportasi. Tidak ada sekolah. Tidak ada kantor berfungsi.
Sungai Tamiang berubah menjadi monster. Air membawa;
– Log kayu dari hulu
– Batang sawit
– Rumah
– Mobil
– Atap metal
– Mayat
Semuanya bercampur dan bergerak seperti gelombang hitam yang menelan apa saja.
Di kampung Air Tenang, seorang ibu berkata; “Yang kami takutkan bukan airnya, tapi kayu-kayu itu. Suaranya seperti petir longsor.”
Politik, Perusahaan, dan Catatan Masyarakat
DI tengah peristiwa ini, muncul kritik keras terhadap PT Semadam.
Anto, tokoh masyarakat berusia 70 tahun, mengecam;
“PT Semadam tidak memberi bantuan membuka longsor di Bukit Semadam. Jangan beri perpanjangan HGU pada mereka kalau tidak peduli masyarakat.”
Ucapan Anto kemudian viral di media lokal.
Bupati, Politik Krisis, dan Moral Kekuasaan
ADA satu hal yang berulang kali disebut warga dan relawan; Bupati Armia turun langsung, tidak hanya memberi instruksi dari kantor.
Ketika air setinggi bahu, ia mengevakuasi warga Kota Lintang.
Ketika napi harus dievakuasi, ia turun sendiri membantu mengamankan mereka.
Ketika komunikasi mati, ia melawan arus kayu log untuk membuka jalur.
Ketika pusat lambat merespons, ia mendatangi Banda Aceh sendiri.
Dalam sebuah wawancara yang disiarkan ulang oleh TVRI Aceh, Armia berkata;
“Saya bukan pahlawan. Pahlawannya adalah rakyat yang bertahan.”
Namun bagi masyarakat Aceh Tamiang, keberaniannya saat itu tetap menjadi catatan sejarah.
Setelah Air Turun
PADA 1 Desember 2025, longsor di Semadam mulai stabil. Tetapi jalan nasional masih tertutup. Banjir belum sepenuhnya surut. Kendaraan pribadi, truk, dan bus masih terjebak.
Aceh Tamiang memasuki fase baru; penyakit, kelaparan, dan kebingungan administrasi.
Di beberapa kampung, air bersih habis. Di pengungsian, bayi mulai diare. Rumah sakit bekerja dengan generator terbatas.
Armia mencatat lima kebutuhan utama;
1. Makanan
2. Air bersih
3. Kesehatan
4. Komunikasi
5. Logistik evakuasi
Semua ini ia kirimkan langsung ke pusat melalui pertemuan-pertemuan darurat.
Menghitung yang Tak Bisa Dihitung
HINGGA hari ini, angka pasti korban tak mampu disusun lengkap. Banyak catatan identitas hanyut bersama rumah.
Tetapi satu hal jelas; Bencana Aceh Tamiang 2025 adalah bencana terbesar dalam sejarah kabupaten ini.
Bahkan lebih besar dari banjir bandang 2006 dan 2026. Manusia Melawan Air, Manusia Melawan Nasib.
Ada pertanyaan besar yang menggantung; Apakah bencana ini bisa diulang? Jawabannya pahit; bisa.
Karena DAS Tamiang semakin rusak. Karena hutan di hulu terus tergerus. Karena sistem peringatan dini masih tidak memadai. Karena log kayu masih hanyut setiap hujan lebat.
Namun dalam bencana 2025, satu hal menjadi terang;
Di sebuah daerah yang tenggelam,
ketika semua yang keras hancur,
yang tersisa hanyalah keberanian manusia.
Dan malam itu, ketika arus tertinggi menggulung Aceh Tamiang, seorang bupati memilih untuk tidak bersembunyi di balik meja rapat [tetapi turun], memegang perahu, dan melawan ribuan log yang dapat menghabisinya dalam sekejap.
Ada banyak hal yang akan dikritik, banyak kebijakan yang bisa diperdebatkan. Namun keberanian adalah sesuatu yang tidak bisa dipalsukan.
Tamiang mungkin tenggelam.
Tapi keberanian itu tetap mengapung. Menjadi penanda bahwa negeri kecil ini pernah berdiri tegak melawan gelap.
Dan seseorang telah menolak untuk menyerah.[]
Ditulis oleh : Syawaluddin, Redaktur Pelaksana rahasiaumum.com, dari Aceh Tamiang















