Opini  

Jurnalis: Antara Uang dan Idealisme

Aditya Fenra. Kamis 4 Desember 2025. [Foto Dok : Pribadi/rahasiaumum.com]

Oleh : Aditya Fenra

Profesi jurnalis sering dianggap sebagai pekerjaan yang sederhana: melaporkan fakta, menulis berita, dan menyampaikan informasi kepada publik. Namun, siapapun yang pernah berkecimpung di dalamnya menyadari bahwa jurnalisme jauh lebih rumit dari sekadar rutinitas menulis.

Seorang jurnalis adalah penghubung antara realitas dan masyarakat, ia mengurai peristiwa politik, mengamati dinamika ekonomi, memotret gejolak sosial, hingga mengungkap persoalan yang tidak ingin disorot banyak pihak. Dengan kata lain, jurnalis berada di garis depan dalam menjaga nalar publik.

Di titik inilah beban profesi mulai terasa. Jurnalis tidak hanya memikul tanggung jawab akurasi, tetapi juga tanggung jawab etis. Mereka dituntut tetap teguh menjaga integritas, meskipun realitas lapangan kerap kali tidak ramah. Idealnya, jurnalis bekerja dengan komitmen moral yang kuat bertindak objektif, tidak memihak, dan selalu berpijak pada kebenaran. Namun idealisme ini sering berbenturan dengan kenyataan yang jauh lebih keras.

Dalam praktik sehari-hari, jurnalis kerap berhadapan dengan godaan-godaan yang tidak selalu tampak sebagai ancaman moral. Ada pihak yang menawarkan uang agar berita tertentu ditulis dengan sudut pandang tertentu, ada pula yang meminta kasusnya “diamankan” dari pemberitaan. Lebih parah lagi, sebagian jurnalis tergoda memanfaatkan informasi sebagai alat tekanan memeras, meminta imbalan, atau menjadi bagian dari permainan politik dan hukum. Tindakan ini tidak hanya merusak citra profesi, tetapi juga mengkhianati kepercayaan publik yang mestinya dijaga.

Fenomena menyimpang tersebut bukan semata kelemahan individu. Ada akar struktural yang turut melahirkan kondisi ini. Rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja media kontrak tidak layak, gaji minim, dan jam kerja yang tidak manusiawi sering menjadi pemicu utama rapuhnya idealisme.

Ketika profesi yang seharusnya berperan sebagai penjaga demokrasi tidak memberikan jaminan kesejahteraan, maka ruang kompromi etis semakin terbuka. Dalam kondisi serba kekurangan, sebagian jurnalis masuk ke lingkar nepotisme, keberpihakan, atau praktik tidak profesional lainnya.

Padahal jika menoleh ke belakang, profesi ini memiliki sejarah panjang sebagai pilar keberanian intelektual. Pada masa-masa kritis negara, jurnalis tampil sebagai pihak yang mengoreksi kekuasaan. Tulisan-tulisan tajam mampu memicu perdebatan luas, memengaruhi kebijakan publik, bahkan membuat penguasa cemas. Tidak sedikit jurnalis yang harus mendekam di penjara akibat keberaniannya mengungkap fakta yang bertentangan dengan kehendak penguasa. Profesi ini dibangun di atas keberanian moral, bukan pada kepatuhan terhadap kepentingan tertentu.

Dalam perkembangan zaman yang serba cepat ini, jurnalis dituntut untuk menjaga martabat profesinya lebih kuat dari sebelumnya. Arus informasi yang makin deras membuat batas antara jurnalisme profesional dan konten manipulatif semakin kabur. Kehadiran media sosial, algoritma, dan kepentingan korporasi turut menambah tekanan. Namun, meski tekanan semakin besar, bukan berarti idealisme jurnalis mustahil dipertahankan.

Faktanya, hingga hari ini masih banyak jurnalis yang bekerja dengan penuh integritas. Mereka konsisten menyajikan berita berimbang, mengecek ulang fakta meski dikejar deadline, dan menolak tunduk pada tekanan politik maupun ekonomi.

Ada pula yang tetap menulis dengan objektif meskipun kasus yang diberitakan melibatkan keluarga, rekan sendiri, atau figur yang dekat secara sosial. Sikap seperti ini adalah bukti bahwa idealisme bukan konsep utopis, melainkan prinsip yang bisa dijalankan meskipun dengan harga yang mahal.

Pertarungan antara uang dan idealisme tidak akan pernah benar-benar berakhir. Namun jurnalisme yang bermartabat hanya dapat bertahan jika para pelakunya memilih berpihak pada kebenaran, bukan pada kepentingan pribadi. Untuk itu, jurnalis membutuhkan dukungan struktural, media yang sehat, mekanisme kontrol etis yang kuat, serta penghargaan yang layak atas profesi mereka.

Jurnalisme bukan sekadar pekerjaan, tetapi tanggung jawab intelektual. Ia memerlukan keberanian, ketekunan, dan kesediaan untuk mengutamakan kepentingan publik meski sering kali tidak mudah. Selama masih ada jurnalis yang menjaga kompas moralnya, harapan bagi terwujudnya jurnalisme yang berintegritas akan terus hidup, bahkan di tengah godaan yang semakin rumit dan tekanan yang semakin besar.

Penulis adalah wartawan rahasiaumum.com yang berdomisili di Kutacane, Aceh tenggara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *