Rapa’i Daboh, Ilmu Kebal Warisan Syekh Abdul Qadir Jailani kepada Syeikh Rafa’I di Aceh

Rapai-Daboh
Pementasan Rapa’I Daboh dalam even wisata di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh. (Foto: Dok Disbudpar)

Meulaboh. RU – Rapa’i Daboh, seni tradisional Aceh yang sarat dengan nilai magis, mempertontonkan atraksi menegangkan di mana para pemain menikam, menyayat, dan memukul diri mereka dengan benda tajam, seperti pisau dan rencong tanpa terluka.

Kesenian ini masih hidup di Aceh dan kerap mengisi even wisata di sejumlah wilayah seperti Aceh Barat, Aceh Selatan dan beberapa kabupaten lainnya di Provinsi Aceh.

Diiringi alunan perkusi rapa’i yang mendayu, pertunjukan ini memadukan elemen budaya dan keislaman yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh.

Rapa’i Daboh, atau dikenal dengan nama “Top Daboh” atau “Debus”, merupakan pertunjukan seni yang biasanya terdiri dari 10 hingga 12 orang, dengan seorang pawang atau khalifah yang memimpin. 

Peran khalifah sangat krusial, karena tidak hanya bertanggung jawab atas keselamatan pemain, tetapi juga mengendalikan kekuatan magis yang dipercaya dapat menjaga mereka dari bahaya selama atraksi berlangsung.

Sebelum pertunjukan dimulai, sya’ir yang berisi doa dan zikir dilantunkan sebagai permohonan keselamatan.

Doa dan zikir yang dibaca sebelum atraksi dimulai menggambarkan permohonan perlindungan dari Allah.

Irama perkusi rapa’i yang ritmis menambah suasana khidmat selama pertunjukan, memberikan pengalaman spiritual yang mendalam bagi penonton.

Begitu sya’ir-sya’ir itu dilantunkan, sang khalifah atau salah seorang dari anggota dabus masuk ke dalam lingkaran tersebut dan menyalami anggota-anggota debus yang sedang memukul gendang satu persatu.

Kemudian dengan senjata tajam di tangan, dia melakukan gerakan-gerakan tari secara konsentrasi mengikuti irama gendang sembari menyimak doa-doa yang diyakini di dalam hati.

Bila suara rapa’i telah membahana gemuruh, anggota yang sedang memegang senjata tajam itu mulai meloncat sambil meliuk-liukkan tubuhnya sambil menikam paha, tangan, perut atau kepalanya.

Rapa’i Daboh dikenal memiliki nilai sejarah yang penting. Menurut penelitian yang dimuat dalam The History of Rapai Daboh in Aceh oleh Anwar Daud, kesenian ini bermula dari seorang ulama terkenal, Syekh Abdul Qadir Jailani, yang diwariskan melalui Syeikh Rafa’i dan lebih dikenal sebagai Tarekat Rifa’iyyah. 

Awalnya digunakan sebagai media dakwah, kesenian ini kemudian berkembang menjadi seni yang digemari oleh masyarakat Aceh.

Penyebarannya dilakukan oleh para dai yang membawa pertunjukan ini ke berbagai daerah, termasuk Desa Ie Lhop di Aceh Barat Daya dan Desa Mutiara di Aceh Selatan.

Rapa’i Daboh berfungsi sebagai latihan untuk memperkuat tubuh. Seperti halnya para jawara debus di Pasundan yang dikenal karena kesaktian dan kekuatannya, di Aceh pun banyak cerita tentang leluhur Aceh yang terkenal karena kekuatan fisik dan ketahanan terhadap senjata. 

Prosesi Pementasan

Untuk mementaskan kesenian ekstrem ini akan diawali dengan latihan Rapa’i Daboh dibuka dengan doa dari seorang syeikh yang disebut khalifah.

Doa kepada Allah yang dilafalkan syeikh akan menjaga keselamatan para peserta latihan dari cedera akibat benda tajam.

Dikutip dari laman resmi Pemerintah Aceh, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607–1636), kesenian Rapa’i Daboh pernah dilarang untuk ditampilkan.

Larangan ini tercatat dalam risalah dari fatwa Syekh Abdurrauf (Syiah Kuala), yang menjadi penasihat Sultan Iskandar Muda, yang mengharamkan permainan Rapa’i Daboh.

Menurut kesepakatan ulama di masa Kesultanan Aceh saat itu, kesenian ini mengandung beberapa unsur yang melanggar syariat Islam secara kaffah, khususnya sikap sombong (takabur) yang sangat dibenci Allah, sehingga dilarang.

Namun atraksi top daboh muncul kembali di masa perang kolonial dan berperan besar dalam membuat ciut Marsose Belanda saat hendak menaklukan Aceh.

Hingga kini, beberapa generasi para Syeikh yang mewariskan Rapa’i Daboh masih bisa dijumpai di Banda Aceh, Aceh Barat, dan Aceh Selatan.

Sebagai sebuah atraksi seni, festival Rapa’i Daboh masih bisa disaksikan di Aceh, khususnya pada even-even wisata. Sedangkan di tengah masyarakat, hampir tidak pernah lagi dimainkan.(TH05)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *