Sukamakmue. RU – Indonesian Parliamentary Center (IPC) menilai operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Nagan Raya menimbulkan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat sekitar sejak 2014.
Terutama bagi warga yang tinggal di sekitar perusahaan tersebut, seperti Gampong Suak Puntong dan sekitarnya yang berada di Kecamatan Kuala Pesisir, Nagan Raya.
Hal ini sesuai hasil kajian IPC melalui Policy Brief: Urgensi Transisi Energi dalam Mengurangi Dampak Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi di Nagan Raya.
“Kondisi ini dalam jangka panjang akan menurunkan kondisi lingkungan, kesehatan dan ekonomi masyarakat,” kata Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC) dikutip Jumat (07/11/2025).
Ia menyampaikan, masyarakat mengalami berbagai dampak langsung, mulai dari paparan debu batubara harian, asap, kebisingan, dan getaran yang berkorelasi dengan keluhan gangguan pernapasan (ISPA) serta tekanan psikososial.
Selain itu, nelayan juga mengeluhkan penurunan hasil tangkapan ikan, dan petani terdampak kontaminasi debu pada lahan serta pangan.
Keadaan tersebut, kata Arif Adiputro, membuat penghasilan nelayan dan petani menurun drastis.
Pendapatan asli daerah (PAD) dan pembukaan lapangan kerja yang dijanjikan dari operasi PLTU Nagan Raya juga tidak pernah terwujud.
Bahkan, hasil forum diskusi lintas pemangku kepentingan yang dilakukan pada Juni 2025 menunjukkan peningkatan kasus ISPA, terutama pada anak-anak di Suak Puntong akibat paparan debu batubara dan asap pembakaran.
Ditambah lagi, arus truk pengangkut batubara dan biomassa juga menimbulkan debu tebal di sekitar permukiman warga.
Secara ilmiah, paparan partikulat halus (PM2,5) dan polutan pembakaran batubara berasosiasi dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan respirasi.
Situasi ini diperburuk oleh insiden tumpahan batubara berulang di wilayah pesisir Aceh Barat sejak 2017 hingga 2023 yang merusak ekosistem laut dan mengganggu ekonomi nelayan.
Sementara itu, tenaga kerja PLTU sebagian besar berasal dari luar daerah, menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat lokal.
Data kajian Indonesian Parliamentary Center menunjukkan tidak ada korelasi antara operasional PLTU dengan peningkatan kesejahteraan warga.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Nagan Raya berada di angka rata-rata 70, lebih rendah dari rata-rata provinsi 73 dan jauh tertinggal dibanding Banda Aceh yang mencapai 87 pada 2024.
Arif mengatakan, surplus listrik di Aceh yang mencapai lebih dari 40 persen seharusnya dapat menjadi peluang untuk mendorong ekonomi lokal.
Namun kenyataannya, kelebihan daya tersebut tidak diikuti oleh pertumbuhan industri atau kesejahteraan rakyat.
“Surplus daya ini idealnya menjadi peluang mendorong investasi industri dan kegiatan ekonomi lokal. Namun, hal itu tidak terjadi,” kata Arif.
“Alih-alih mempercepat industrialisasi atau memperkuat basis ekonomi masyarakat, kehadiran PLTU justru melanggengkan ketimpangan,” imbuhnya.
IPC menilai kebijakan transisi energi merupakan langkah rasional untuk keluar dari ketimpangan tersebut.
Menurut Policy Brief IPC ini, Aceh sudah memiliki landasan hukum melalui Qanun Energi Aceh dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED), akan tetapi implementasinya masih terbatas.(TH05)















