Ketika Pemerintah Menjemput, Petani Menuai Harapan

Avatar photo

“Kami tidak menunggu, kami bergerak. Pemkab Aceh Tamiang memilih untuk bersinergi dan berkontribusi dalam peta besar ketahanan pangan Indonesia.”

[Irjen Pol. (P) Drs. Armia Pahmi, MH, Bupati Aceh Tamiang]

Terik matahari menimpa halaman kantor Bupati Aceh Tamiang, siang itu. Lima unit traktor roda empat berwarna merah menyala berderet rapi di bawah sorotan sinar yang membias di bodi logamnya.

Suara mesin yang diuji sesekali memecah udara, seolah menjadi tanda lahirnya semangat baru bagi para petani di tanah subur perbatasan Aceh–Sumatera Utara itu.Bupati Aceh Tamiang, Irjen Pol. (P) Drs. Armia Pahmi, MH, berdiri di hadapan deretan petani penerima bantuan.

Wajahnya teduh, senyumnya lepas. Di hadapan para petani yang menatap penuh harap, ia mengucapkan kalimat pembuka dengan nada syukur yang hangat.

“Atas nama pemerintah dan masyarakat Aceh Tamiang, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, atas bantuan lima unit traktor roda empat ini,” ucapnya. Tepuk tangan dan sorak gembira pun membahana di halaman kantor itu.

Namun penyerahan lima traktor ini bukan sekadar seremoni. Ia adalah hasil nyata dari strategi “jemput bola” yang dijalankan Pemkab Aceh Tamiang di bawah kepemimpinan Armia Pahmi.

Sejak awal menjabat, sang bupati dikenal gigih mengetuk pintu-pintu kementerian di Jakarta; bukan untuk meminta belas kasihan, melainkan memperjuangkan hak daerahnya untuk tumbuh mandiri.

Ketika Usaha Tak Mengkhianati Hasil.

Langkah itu bermula dari pertemuan langsung di Kementerian Pertanian, 30 April 2025. Armia datang bukan dengan tangan kosong, melainkan dengan proposal konkret penguatan sektor pertanian [dari kebutuhan alsintan hingga rencana pembenahan irigasi desa].

Kerja keras itu kini berbuah manis. Lima unit traktor sudah diserahkan, sementara ribuan ton benih padi dan jagung sedang disiapkan untuk disalurkan ke kelompok tani di berbagai kecamatan.

“Kami tidak menunggu, kami bergerak,” tegasnya lagi. “Kunjungan ke kementerian bukan sekadar seremonial, tapi bagian dari kontribusi Pemkab Aceh Tamiang dalam peta besar ketahanan pangan nasional.”

Langkah ini, kata Armia, selaras dengan visi Asta Cita Presiden Prabowo, yang menempatkan kemandirian pangan dan kesejahteraan petani sebagai pondasi pembangunan ekonomi rakyat.

Buah dari Konsistensi

Keberhasilan menjemput bantuan traktor hanyalah satu bab dari buku panjang perjalanan Aceh Tamiang membangun diri. Prinsip yang sama [kerja nyata dan sinergi lintas sektor] juga diterapkan di bidang lain.

Tahun depan, misalnya, sebanyak 205 unit rumah layak huni akan dialokasikan dari Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman. Semua itu berawal dari satu hal: konsistensi dan keberanian untuk bertindak.

“Kami belajar, pemerintah daerah tak bisa hanya menunggu. Ia harus berani melangkah, membangun sinergi, dan menunjukkan keseriusan,” tutur Armia.

Traktor untuk Kemakmuran.Bagi petani, traktor itu bukan sekadar mesin. Ia adalah simbol harapan baru. Kunci yang berpindah tangan hari itu serupa janji: bahwa tanah Aceh Tamiang akan digarap lebih cepat, lebih luas, dan lebih efisien.

Lima kelompok tani yang menerima bantuan ini mewakili wajah nyata petani desa;

Poktan Beringin Bahagia, Kampung Pahlawan, Manyak Payed; Poktan Bina Tani, Kampung Teluk Halban, Bendahara; Poktan Jaya Baru, Kampung Lubuk Batil, Bendahara; Poktan Bina Tani, Kampung Bukit Panjang Dua, Manyak Payed; Poktan Tamiang Lestari, Kampung Alue Lhok, Karang Baru.

“Jaga, rawat, dan gunakan bantuan ini sebaik mungkin,” pesan Armia di penghujung acara. “Traktor ini bukan hanya untuk sawah, tapi untuk kemakmuran kita bersama.”

Dari Tamiang, Untuk Ketahanan Pangan Bangsa.

Di tengah tantangan pangan global dan keterbatasan sumber daya lokal, kisah Aceh Tamiang mengajarkan satu hal sederhana; perubahan besar sering kali dimulai dari langkah kecil, tapi berani.

Dari traktor yang kini berderu di tanah lembah Tamiang, tumbuh keyakinan baru [bahwa kerja keras dan kolaborasi bisa menanam masa depan].

Bukan sekadar panen padi, tapi panen harapan bagi para petani yang selama ini setia menunggu giliran makmur.

“Di Aceh Tamiang, kami belajar bahwa keberanian menjemput adalah bentuk lain dari doa yang diwujudkan dalam tindakan.” [].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *