Ketika Air Menelan Jalan Pulang

Avatar photo

Pagi itu, langit Kuala Penaga berwarna kelabu. Kabut tipis menutupi permukaan sungai yang perlahan meluap.

Di bawah jembatan gantung yang tua dan berkarat, arus air membawa batang-batang kayu dari hulu, berputar-putar sebelum menghantam tiang penyangga yang mulai keropos.

“Kalau air sudah sampai di papan jembatan, itu tanda kami harus bersiap,” ujar Salmah, ibu dua anak yang berdiri di tepi sungai. Ia menggulung celana hingga lutut, menatap dengan cemas arus yang makin deras.

Bagi warga Kuala Penaga, banjir bukan lagi bencana [tapi rutinitas yang datang saban tahun, kadang dua kali, kadang lebih]. Setiap kali hujan besar mengguyur pegunungan Gayo Lues, air bah akan turun membawa lumpur, ranting, dan duka.

Sungai yang Tak Pernah Tenang

Sungai Tamiang, yang dulu menjadi sumber kehidupan, kini menjadi ancaman yang selalu mengintai. Ketika kawasan hulu hutan di Gayo Lues mulai digunduli oleh penebangan liar, daya serap tanah hilang. Air hujan tak lagi tersimpan, langsung mengalir ke bawah dengan membawa tanah dan batu.

Akibatnya, dasar sungai di Kuala Penaga menjadi dangkal, air kehilangan ruang, dan setiap kali hujan besar datang [banjir menjadi tak terelakkan].

“Dulu airnya jernih, kami mandi dan mencuci di sini,” kata Abdurrahman, nelayan sungai yang kini lebih sering memperbaiki perahunya daripada melaut. “Sekarang, air datang membawa lumpur, dan pergi meninggalkan kerusakan.”

Jembatan Tua dan Harapan yang Tak Pernah Lapuk.

Satu-satunya penghubung antara Kuala Penaga dan Tanjung Binjai adalah jembatan gantung. Terbuat dari besi berkarat dan papan kayu yang sebagian sudah bolong. Jembatan itu seperti urat nadi rapuh yang menghubungkan kehidupan dua kampung di tengah keterasingan.

Saat banjir datang, papan-papan jembatan kerap hanyut terbawa arus. Anak-anak sekolah terpaksa menunggu air surut untuk menyeberang. Warga yang membawa hasil panen ke pasar harus menggunakan getek, rakit sederhana dari drum plastik dan papan.

“Kalau banjir besar, kami terputus total. Mau ke puskesmas pun susah,” tutur Halimah, bidan desa yang sering menempuh perjalanan lewat arus deras untuk membantu persalinan di seberang sungai.

Di tengah keterbatasan itu, harapan mereka sederhana; sebuah jembatan permanen yang kokoh, yang bisa dilalui mobil dan ambulans, agar Kuala Penaga tak lagi terasing di musim bencana.Air yang Menguji Kesabaran

Setiap kali air naik, warga saling bahu-membahu.

Anak muda mengevakuasi anak-anak dan lansia. Ibu-ibu menyelamatkan pakaian, surat tanah, dan ijazah dari rumah yang terendam. Di masjid kecil di tepi sungai, warga berkumpul, membaca doa agar air segera surut.

Namun yang tak pernah surut adalah ketabahan mereka.

“Air bisa datang kapan saja, tapi kami tetap bertahan. Karena di sinilah tanah kami, kuburan orang tua kami,” ucap Abdurrahman, sambil menatap arus yang tak berhenti.

Menjaga Hulu, Menyelamatkan HilirPakar lingkungan menyebut, banjir di Aceh Tamiang tak bisa diselesaikan hanya dengan membangun tanggul.

Hulu dan hilir harus disatukan dalam satu kesadaran ekologis. Hutan yang gundul di Gayo Lues harus direstorasi, daerah tangkapan air dijaga, dan warga di hilir diberi akses infrastruktur yang layak.

Karena air tak mengenal batas kabupaten, dan bencana pun tak berhenti di tapal administrasi.

Pemerintah daerah pernah menjanjikan pembangunan jembatan permanen di Kuala Penaga. Namun hingga kini, yang tersisa hanya papan-papan lapuk dan harapan yang belum kering.

Hulu Gundul, Hilir TenggelamBanjir di Kuala Penaga bukan hanya tentang air, tapi tentang ketimpangan dan keterlambatan. Ketika alam di atas dihancurkan, yang di bawah menanggung akibatnya. Dan ketika kebijakan tak berpihak pada daerah terpinggir, penderitaan menjadi warisan turun-temurun.

Namun meski hidup dalam ketidakpastian, warga Kuala Penaga tetap memelihara keyakinan; bahwa suatu hari nanti, jembatan mereka akan dibangun; bukan sekadar dari baja dan semen, tapi dari kepedulian.

Air boleh menelan jalan pulang, tapi tidak harapan mereka.

“Air bisa datang kapan saja, tapi kami tetap bertahan. Karena di sinilah tanah kami. Kalau banjir besar, kami terputus total. Mau ke puskesmas pun susah.”

[Abdurrahman, warga Kuala Penaga]. [].

Penulis: SyawaluddinEditor: Syawaluddin Ksp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *