“Green Policing” dan Pertaruhan Masa Depan Alam Aceh

Avatar photo

“Green Policing bukan sekadar slogan penegakan hukum ramah lingkungan, melainkan panggilan moral untuk menyelamatkan masa depan Aceh dari kerusakan yang dibuat tangan manusia sendiri.”

Pagi itu, di Aula Mapolda Aceh, sebuah momentum bersejarah lahir, penandatanganan Deklarasi Green Policing oleh pemerintah, aparat dan masyarakat. Dari luar tampak sederhana — sekadar penandatanganan lembar ikrar.

Namun sejatinya, di balik pena yang bergerak itu, tersimpan satu pertaruhan besar. Mampukah Aceh menyelamatkan diri dari cengkeraman tambang liar yang kian menggila? Selama ini, tambang ilegal telah menjadi luka lama yang tak kunjung sembuh.

Di banyak daerah, sungai menghitam, sawah tercemar, dan lahan longsor menjadi pemandangan akrab. Ironisnya, di balik kerusakan itu, ada wajah-wajah masyarakat kecil yang terdesak kebutuhan hidup.

Mereka bukan pelaku kriminal murni, tetapi korban dari sistem yang abai menyediakan alternatif ekonomi yang layak.Polisi Hijau: Menggeser Paradigma Penegakan Hukum

Inilah yang hendak dijawab oleh konsep Green Policing. Sebagaimana ditegaskan Kapolda Aceh, Irjen Pol. Marzuki Ali Bashyah, Green Policing bukan sekadar soal pasal dan penangkapan, tetapi perubahan paradigma, aparat hadir bukan hanya sebagai penegak hukum, melainkan juga sebagai mediator, pendidik, dan pelindung ekosistem sosial.

Ini adalah pendekatan yang berani — mengakui bahwa tambang liar bukan hanya masalah hukum, tapi juga sosial, ekonomi, dan budaya.

Dengan demikian, solusi yang ditawarkan pun harus menyentuh akar: memberikan ruang legal bagi masyarakat untuk menambang melalui Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), sembari memastikan keberlanjutan lingkungan.

Momentum yang Tak Boleh Redup

Namun, seperti diingatkan banyak aktivis, langkah ini hanya akan berarti jika tidak berhenti di seremoni. Aceh terlalu sering mendengar kata “deklarasi” tanpa melihat perubahan di lapangan. Kuncinya adalah konsistensi dan keberanian moral.

Green Policing seharusnya menjadi gerakan nyata — bukan hanya oleh kepolisian, tetapi oleh seluruh elemen pemerintahan.

Pengawasan BBM, penindakan jaringan suplai ilegal, edukasi masyarakat, hingga insentif bagi tambang rakyat legal, semuanya harus berjalan simultan. Tanpa itu, deklarasi hanya akan jadi tinta di kertas, bukan jejak di bumi Aceh.

Warisan untuk Generasi Mendatang

Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Joko Hadi Susilo, dengan lantang mengingatkan: “Tambang liar bukan hanya merusak alam, tapi juga merampas masa depan anak cucu kita.”

Kalimat ini seharusnya menggema jauh lebih dalam daripada tepuk tangan seremoni. Sebab sesungguhnya, menjaga alam bukanlah pilihan, tetapi kewajiban moral dan spiritual yang menentukan arah peradaban kita.

Aceh pernah menjadi tanah yang hijau, subur, dan kaya. Tapi tanpa kesadaran kolektif, semua itu hanya akan tinggal cerita.

Green Policing memberi secercah harapan — bahwa sinergi aparat dan rakyat bisa melahirkan perubahan.Namun harapan tanpa tindakan hanyalah utopia.

Kini, tugas besar itu menunggu, membuktikan bahwa Aceh bukan hanya pandai mendeklarasikan komitmen, tetapi juga berani menegakkannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *