‘CSR, atau Jargon Kosong’

Avatar photo

TANGGUNG jawab sosial perusahaan (CSR) seharusnya menjadi jembatan antara kepentingan korporasi dan kesejahteraan masyarakat.

Namun, di Aceh Tamiang, Pertamina EP (PEP) Rantau Field justru sedang menghadapi rapor merah.

Bukan karena kurangnya anggaran, melainkan karena krisis kepercayaan yang kian dalam.

Kasus hilangnya 23 sertifikat tanah warga Kampung Dalam adalah bukti nyata. Empat tahun berlalu, dokumen berharga itu tak kunjung dikembalikan.

Sertifikat tanah bukan sekadar kertas, melainkan simbol hak, jaminan masa depan, dan rasa aman warga.

Ketika perusahaan negara sebesar Pertamina gagal mengembalikan hak dasar masyarakat, publik tentu merasa dikhianati.

Lebih ironis lagi, program CSR yang seharusnya hadir sebagai solusi justru terkesan macet.

Alih-alih menghadirkan kesejahteraan, CSR kehilangan makna [terdegradasi menjadi sekadar jargon yang tak berdenyut].

Tiga Tuntutan yang Wajar

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) di DPRK Aceh Tamiang, masyarakat bersama wakil rakyat menyampaikan tiga tuntutan jelas:

1. Kepastian waktu pengembalian sertifikat tanah.

2. Penghentian sementara aktivitas eksplorasi jika masalah tak segera diselesaikan.

3. Pernyataan resmi perusahaan sebagai bukti komitmen.

Ketiga tuntutan itu bukan sikap berlebihan. Justru itu langkah minimal untuk mengembalikan sedikit kepercayaan yang sudah runtuh.

CSR Bukan Formalitas

Kasus ini menegaskan bahwa sebagian perusahaan masih memperlakukan CSR hanya sebagai formalitas, bukan kewajiban moral.

Padahal, hakikat CSR adalah berbagi nilai dan manfaat dengan masyarakat. Ketika CSR gagal menjawab kebutuhan publik, ia tak lebih dari retorika kosong.

Label “rapor merah” yang kini melekat pada PEP Rantau Field adalah konsekuensi logis dari kegagalan mengelola hubungan dengan warga.

Reputasi perusahaan pun terancam runtuh jika langkah korektif tak segera diambil.

Saatnya Berbenah

Pertamina EP Rantau Field tak bisa lagi menunda. Penyelesaian persoalan sertifikat tanah harus menjadi prioritas pertama.

Program CSR perlu ditata ulang dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat.

Lebih dari itu, ruang dialog yang jujur dan terbuka harus segera dibangun, bukan sekadar janji-janji manis yang menguap di udara.

Energi yang diproduksi dari bumi Aceh Tamiang tidak boleh dibayar dengan hilangnya hak dasar rakyatnya.

CSR seharusnya menjadi jembatan kepercayaan, bukan sumber konflik.

Pertamina masih memiliki kesempatan mengubah rapor merah menjadi catatan emas [tetapi hanya jika berani berbenah dengan sungguh-sungguh]. [].

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *