Aceh  

Kebijakan Bobby Nasution Kembali Picu Ketegangan Aceh-Medan

B0bby
Tangkapan layar video saat Gubernur Sumut, Bobby Nasution merazia kendaraan berpelat BL (asal Aceh) di wilayah Sumut, Sabtu (27/9/2025). (Foto: Dok warga)

Banda Aceh. RU – Kebijakan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang melarang kendaraan berpelat BL (Aceh) melintasi wilayah Sumut, menuai sorotan hingga kembali memicu ketegangan antara warga Aceh dan Sumatera Utara.

Pertanyaannya sederhana tapi penting: apakah kebijakan itu benar-benar berdiri di atas landasan hukum, atau justru membuka ruang diskriminasi dan gesekan antarwilayah yang sebenarnya bisa dihindari?

Menurut pengamat transportasi, Agus Sulistio, jika kembali pada aturan, semuanya sudah jelas tertulis dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dimana, kendaraan pribadi berhak melintas di seluruh wilayah Indonesia selama memiliki STNK yang sah dan pajak kendaraan hidup.

Kendaraan angkutan umum dan logistik wajib mengantongi izin trayek bila beroperasi lintas provinsi. Untuk trayek antarprovinsi, izin dikeluarkan pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan (Pasal 173–177).

“Artinya, larangan hanya bisa dikenakan pada kendaraan angkutan umum atau logistik yang tidak memiliki izin trayek lintas provinsi. Jika aturan itu justru berlaku untuk semua kendaraan, termasuk mobil pribadi bereplat BL, maka dasar hukumnya jelas lemah,” ujar Agus, Rabu (01/10/2025).

Ia mengungkapkan, selain soal izin trayek, ada pula persoalan pajak daerah yang kerap memicu ketegangan antarwilayah. Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), kendaraan bermotor masuk dalam objek pajak provinsi.

PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) dan BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) merupakan salah satu sumber utama pendapatan provinsi.

Kendaraan niaga atau komersial yang beroperasi di luar provinsi asal sering dianggap tidak adil jika hanya membayar pajak di daerah asal (misalnya Aceh), tapi mendapat keuntungan dari aktivitas ekonomi di provinsi lain (misalnya Sumut).

“Dari sinilah muncul gesekan provinsi tujuan merasa hanya menanggung beban jalan, tapi tidak mendapat bagian dari pajak kendaraan tersebut,” ujarnya.

Namun menurut Agus, penyelesaian masalah ini tidak bisa dengan larangan sepihak. UU HKPD sendiri membuka jalan bagi mekanisme bagi hasil dan kerja sama antarprovinsi (Pasal 94–97), termasuk dalam urusan pajak kendaraan lintas wilayah.

“Jadi, jika Sumut merasa dirugikan, seharusnya ditempuh jalur kerja sama fiskal antarprovinsi dengan fasilitasi pemerintah pusat, bukan dengan menutup pintu bagi kendaraan berplat BL,” kata Agus.

Seperti diketahui, Sumatera Utara dan Aceh punya hubungan yang lebih dalam dari sekadar berbatasan administratif. Ribuan orang melintas setiap hari untuk berdagang, sekolah, bekerja, atau sekadar menjenguk keluarga. Membatasi mobilitas mereka tanpa komunikasi yang matang hanya akan menumbuhkan kecurigaan, bahkan memicu konflik sosial.

Apalagi, Aceh memiliki kekhususan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sehingga setiap kebijakan yang menyentuh wilayah ini semestinya dilakukan dengan pertimbangan ekstra hati-hati.

Karena itu, kebijakan yang terkesan diskriminatif bisa berbalik menjadi bumerang politik, apalagi di era digital di mana setiap langkah pemimpin mudah terekam dan dikritisi publik.

Jika persoalannya soal izin trayek, maka penyelesaiannya harus melalui regulasi Kementerian Perhubungan. Sedangkan terkait pajak kendaraan ada pada mekanisme kerja sama fiskal antarprovinsi sesuai amanat UU HKPD.

Kedua solusi itu jelas lebih konstitusional dan adil, dibandingkan larangan Bobby pada kendaraan dengan pelat BL, sedangkan kendaraan dengan pelat lainnya tidak dilarang. Bobby kini ada di dua pilihan, tetap memperkeras larangan dengan segala resiko politik dan hukum, atau membuka ruang dialog untuk mencari jalan tengah sesuai aturan perundangan.

“Pada akhirnya, kepemimpinan tidak diukur dari seberapa keras seorang pemimpin membuat aturan, melainkan seberapa bijak mengelola perbedaan kepentingan tanpa merusak persaudaraan antarwarga,” ungkap Agus Sulistio.(TH05)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *