Cerpen  

Kain Lusuh Pusaka Nenek

Kain Lusuh Pusaka Nenek

Cerpen
Penulis: Aditya Fenra

Pada tahun 1906, pada masa itu desa ku masih gelap gulita, di desa-desa belum terjamah listrik, suasana malam desa saat itu masih mencekam, ditemani rimbunan pohon, rimbunan semak belukar, ilalang, pandan berduri dan sejenis tumbuhan yang menjulang tinggi hingga se-dada orang dewasa.

Saat itu, rumah ku bersebelahan dengan rumah nenek yang berusia 75 tahun. Nenek sering menyapa ku dengan sebutan Pewaris, entah apa maksud dari julukan itu aku tidak mengerti sama sekali, sejak kapan aku menjadi pewaris fikir ku, sedangkan orang tua ku hanya golongan ekonomi ke bawah hanya memilki sebidang tanah untuk bertani.

Nenek Rentia, adalah kerabat dari saudara ayah ku, ia hidup sebatang kara. Kata ibu, suaminya meninggal 10 tahun lalu disebabkan bunuh diri tepat di kamar milik pribadinya. Kejanggalan kematian kakek ini membuat pikiran ku berkecamuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak patut untuk di utarakan langsung kepada ayah, sebab aku takut ayah tersinggung.

Pada suatu hari sepulang bermain, aku disuruh ibu mencari kayu bakar di belakang rumah, sebab setok kayu bakar ibu sudah menipis.

“Tengku” kata ibu kepada ku.“ Nanti cari kayu bakarnya jangan di dekat pohon beringin tua di dekat kali ya”, kata ibu sembari ku tatap raut wajah ibu seperti memperingati ku.

“ya” jawab ku polos. Mungkin ibu cemas karena suasana hari sudah mulai gelap fikir ku. 20 menit berjalan sembari memulung kayu kering dengan suasana sedikit dingin serta diiringi suara gagak seperti saling bersambutan. Saat itu pula terlintas bau sirih yang menyengat.

“Bau sirih” gumam ku, dengan rasa penasaran. Siapa gerangan makan sirih di tengah hutan, tidak berfikir panjang, bau sirih itu ku hiraukan, namun selang 7 langkah berjalan, dari kejauhan aku melihat pohon beringin tua yang disinggung ibu.

Pohonnya menjulang tinggi akar gantung nya memenuhi sekitar batangnya hingga menyentuh tanah, aku tertegun sejenak seperti terikat dengan pohon itu, “memangnya ada apa dengan pohon itu” bisik ku di dalam hati.

Dengan kondisi kayu bakar yang ku pungut hanya sedikit, rasa ketertarikan ku semakin menjadi, melihat banyaknya kayu yang berserakan di bawah pohon beringin tua, tepat lurus di hadapanku dengan jarak kurang lebih hanya sekitar 200 meter.

Dengan rasa penasaran tinggi, ku beranikan diri untuk menghiraukan peringatan ibu, dengan langkah santai, tidak disangka pohon beringin ini sungguh membuat bulu kuduk ku berdiri. “sungguh tinggi nya beringin ini,” sebut ku.

Sesampai nya di pohon tersebut, dengan wajah senang ku pungut ranting kayu di bawahnya, lumayan untuk peracik api di dapur ku. Sekitaran 5 menit berlalu sembari memungut ranting yang bergeletakan aku mendengar suara nyanyian dengan suara sedikit agak samar-samar. “nyanyian siapa ini, di tengah hutan,” tanya ku di hati.

Dengan penasaran ku ikuti sumber suara, tepat di balik pohon beringin ada pandan berduri yang begitu lebat, suara nyanyian itu tepat di tengah-tengah pandan yang menjulang. Namun anehnya lagi di tengah-tengah belukar nya tumbuhan ini, ada jalan setapak yang mungkin menuju ke sumber suara, yakin ku.

Pelan-pelan diri ku mendekat, dengan jalan setapak yang berkelok-kelok dan bercabang kanan dan kiri, dengan niat yang kuat dan yakin dengan sumber suara terdengar di jalur kiri, lima langkah di perbatasan jalur kiri yang kuambil, aku melihat nenek Rianti sembari menari dengan selendang putih berbercak merah.

Aku terdiam dengan rasa takut ketahuan oleh nenek, aku bersembunyi di selingan batang pandan yang menutupi ku dari kepala hingga seluruh tubuh. Ku perhatikan ulah nenek Rianti, dengan memakai selendang yang ia kenakan, dirinya pun menari sembari bernyanyi, seperti nyanyian memanggil sesuatu.

Setelah 3 menit ku saksikan tarian tersebut, nenek Rianti terlihat seperti kesurupan matanya berbalik ke atas sehingga hanya putih bola mata miliknya tampak jelas terlihat, tanpa berkedip sekalipun ia memasukan selendang nya ke wadah guci.

Seperti membasahi selendang nya di guci tersebut, ia kembali mengambil selendang nya, tak ku sangka terlihat jelas di mata ku, selendang yang awalnya hanya berbercak merah sedikit kini memenuhi selendang tersebut.

Tersentak diri ku, wadah guci milik nenek itu berisikan darah entah dari mana asal usulnya, entah darah siapa fikir ku. Sembari berteriak “wahai kau jiwa ku” katanya, hingga teriakannya membuat ku gemetar, suasana merinding di sekitar menyelimuti ku.

Dengan spontan kepala nenek Rianti berputar 360 derajat, sembari berbisik dengan suara agak terdengar “wahai jiwa ku, wahai jiwa batin ku, datanglah kau ruh bayang ku.” Sembari ia meminum darah yang ada di guci.

Selang beberapa saat, lelaki tua berbadan tegap menghampirinya entah dari mana datangnya, kehadiran lelaki tua ini begitu cepat sehingga mata ku tak melihat dari mana munculnya lelaki tersebut.

Sembari ku tatap wajah lelaki itu, seketika ia melihat ke arah ku, dengan tatapan tajam, ia berkata “Pewaris” badan ku langsung bergetar, wajah ku terasa terhambat oleh sesuatu yang membuat nafas ku ter engah-engah, lalu nenek itu Rianti juga menatap ku dengan berbalikan badanya ke bawah tanah (seperti gerakan kayang).

Ia langsung mengejar ku, dengan panik aku spontan berlari se-kencang-kencangnya. Dengan tidak menghiraukan pandan berduri yang menggesek kulit ku. Nenek Rianti memanggil ku dengan nada lirih “Pewaris ku” sebutnya.

Tentu ku tak menghiraukan sebutan itu, sangking takutnya kaki ku terus berlari hingga sampai di belakang pintu rumah ku, dengan diiringi suasana suara ngajian, sembari ter engah-engah aku membuka pintu rumah ku, terlihat kerumunan orang duduk bersila rapi sembari membaca surah-surah seperti di pemakaman.

Dengan suasana yang mencekam, ku lihat kedua orang tua ku berselimut kain putih. tepat di atas kepala ibu, nenek Rianti yang tadi mengejar ku kini sudah duduk rapi, sembari menatap ku ia tersenyum Ia mengatakan “PEWARIS!”.

Aku panik, saat itu tiba-tiba terasa suasana dingin air diseluruh badan ku, dengan suara teriakan ibu ku, TENGKU!, BANGUN KAU, KAMU TIDAK SEKOLAH”. Akhirnya ketegangan ku lega, ternyata kejadian tersebut hanya mimpi buruk yang kualami.

Namun keesokan harinya di luar dugaan, saat aku sepulang dari sawah milik ayah ku, terdengar kabar bahwa nenek Rianti meninggal dunia, terlihat ayah ku menghampiri ku dengan membawakan kain selendang “Nak ini kain nenek mu, sebelum meningal ia berpesan ini untuk mu.” Aku langsung teringat dengan mimpi ku, kain ini yang dikenakan nenek Rianti pada saat menari.

Sembari merinding aku mengembangkan selendang putih yang berbau amis, lalu aku melihat tulisan berwarna merah “Pewaris ku”. Dengan merasa sedikit agak kaku, mengingat mimpi ku tadi malam.

Besambung..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *