Jakarta. RU – Setelah kekisruhan di Pati, Jawa Tengah, demonstrasi merembet ke sejumlah daerah lain yang mengalami kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) yang gila-gilaan.
Ekonom menilai kenaikan PBB-P2 yang membebani masyarakat ini karena pemerintah pusat memangkas dana transfer ke daerah (TKD) akibat kebijakan efisiensi.
Di sisi lain, Menteri Sekretariat Negara, Prasetyo Hadi membantah hal tersebut.
Daerah lain yang tolak kenaikan pajak
Gejolak penolakan terhadap kebijakan PBB-P2 bermunculan di sejumlah daerah setelah kisruh yang terjadi di Pati, Jawa Tengah.
Pemerintah daerah mencari pendapatan dari PBB-P2 dengan cara menaikkan harga nilai jual objek pajak (NJOP). Beberapa pemda mengklaim kenaikan tersebut adalah hal lumrah mengingat mereka tidak pernah menaikkan NJOP lebih dari satu dekade terakhir.
NJOP ini sangat tergantung dari lokasi, zonasi atau peruntukan, kondisi lingkungan hingga aksesibilitas. Intinya, harga serta pajak dari tanah dan bangunan di dalam gang sempit akan berbeda dari pinggir jalan raya.
Warga daerah mana saja yang menolak kenaikan PBB-P2?
- Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan
Kelompok mahasiswa di Kabupaten Bone melakukan demo menolak kenaikan PBB-P2, Kamis (14/08). Aksi dilakukan di depan kantor Bupati dan kantor DPRD.
Secara terpisah, Suriani, ibu rumah tangga di Bone mengaku kaget saat membayar PBB-P2 baru-baru ini. “Karena lumayan naiknya, dan tidak ada juga pemberitahuan sebelumnya,” katanya.
Suriani punya tanah sekitar satu hektare. Tahun lalu, ia membayar Rp100.000. Tapi jumlahnya meningkat tiga kali lipat menjadi Rp300.000 tahun ini.
“Lumayan itu (selisih kenaikannya) bisa dipakai beli kebutuhan sehari-hari kita, bisa beli tabung, sayur dan ikan. Kita warga ini harap pajaknya jangan tinggi-tinggi,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Komunikasi Informasi (Kominfo) Bone, Anwar, mengakui adanya kenaikan pajak PBB-P2, tapi membantah mencapai 300%.
“Jadi PBB itu kenaikannya hanya 65% dengan totalitas kenaikan, bukan 300%. Kenapa bisa naik? Karena nilai PBB kita tahun 2024 hanya Rp30 miliar dan tahun 2025 ini ditargetkan menjadi Rp50 miliar,” terang Anwar dikonfirmasi lewat telepon.
Menyikapi aksi yang terjadi di Kabupaten Pati dan aksi yang terjadi dua hari terakhir ini di Bone, Anwar mengaku pemerintah Bone akan terus berupaya agar informasi tersebut bisa diterima masyarakat.
Pemkab Bone mengklaim zona nilai tambah di Bone tidak pernah diperbarui selama 14 tahun terakhir. Nilai tanah yang naik itu disebut hanya daerah perkotaan dan poros jalan.
- Kota Cirebon, Jawa Barat
Kelompok yang menamai diri Paguyuban Pelangi Cirebon mengklaim telah melakukan langkah-langkah penolakan kenaikan PBB-P2 sejak 2024.
Mereka mengaku sudah rapat dengar pendapat dengan parlemen, turun ke jalan, mengajukan judicial review hingga membuat laporan ke Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Dalam Negeri.
“Hanya saja, hingga detik ini, hingga hari ini belum ada jawaban dari mereka,” kata Juru bicara Paguyuban Pelangi Cirebon, Hetta Mahendrati.
Ia mengklaim kenaikan PBB-P2 yang dibayar warga Kota Cirebon paling kecil 150% hingga 1.000%.
Berdasarkan pengakuan anggotanya, Darma Suryapratana, PBB-P2 yang mesti ia bayar pada 2024 mencapai Rp65 juta. Jumlahnya membengkak 1.000% dari 2023 yaitu Rp6,2 juta. Surya baru bayar setelah mendapat diskon. “Saya bayar Rp18 juta,” katanya.
Paguyuban ini menuntut PBB-P2 dikembalikan sebagaimana 2023 silam alias tidak naik.
Mengikuti jejak langkah di Pati, kelompok Paguyuban Masyarakat Cirebon (Pamaci) berencana menggelar aksi 11 September mendatang, dimulai dengan membuka “posko partisipasi”.
“Semoga ini bisa berjalan dengan lancar dan saya hanya berharap masyarakat Cirebon bisa bersatu atau guyub dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang ada di Kota Cirebon,” kata Ketua Harian PAMACI Adji Priatna, Rabu (13/08/2025).
Walikota Cirebon, Effendi Edo membantah PBB-P2 di wilayahnya naik sampai 1.000%. Ia mengeklaim akan mengkaji ulang kebijakan tersebut.
Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon, Harry Saputra Gani, mengakui lonjakan PBB-P2 pada 2024 lantaran penyesuaian NJOP selama 12 tahun tidak diperbarui.
“Kenaikannya ada cukup tinggi, walaupun tidak di semua lokasi. Ini murni karena NJOP naik,” katanya.
Pihaknya telah menjadwalkan merevisi aturan kenaikan PBB-P2 dengan menurunkan tarif dasar.
- Jombang, Jawa Timur
Bupati Jombang, Warsubi, juga menjadi sorotan setelah warganya mengeluhkan kenaikan PBB-P2. Warsubi berdalih kebijakan yang berlaku 2024 tersebut ditetapkan bupati terdahulu.
“Kami tidak pernah menaikkan pajak. Kami hanya menjalankan apa yang sudah dijalankan di tahun 2024, kami kan belum menjabat,” katanya, Rabu (13/08).
Namun demikian, Pemkab Jombang berjanji membentuk tim khusus menangani keberatan wajib pajak.
Beberapa warga Jombang yang diwawancara media mengaku terkejut karena tagihan pajak yang mereka terima pada 2024 mencapai 700% hingga 1.200%.
- Kabupaten Semarang, Jawa Tengah
Bupati Semarang, Ngesti Nugraha, membatalkan kenaikan NJOP yang berpengaruh terhadap PBB-P2. Sejumlah media lokal memberitakan, keputusan ini diambil setelah pihak Pemkab Semarang menerima surat edaran dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Kemendagri menganjurkan kepala daerah memperhatikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sebelum menetapkan atau menaikkan tarif pajak, termasuk NJOP dan PBB-P2.
Bagi wajib pajak yang sudah terlanjur membayar, kata Bupati Ngesti, uang lebihnya akan dikembalikan.
“Bagi yang sudah bayar tidak perlu khawatir karena tetap mendapat hak yang sama dan nanti kelebihan bayarnya akan kita kembalikan sesuai mekanisme perundangan yang berlaku,” katanya.
Sebelumnya, Kabupaten Semarang ikut menjadi sorotan karena warganya terkejut dengan kenaikan PBB-P2 hingga 400%.
Mengapa kenaikan PBB-P2 terkesan serentak?
Sejumlah pakar meyakini ini karena dana transfer ke daerah (TKD) dipangkas pemerintah pusat. Dengan demikian pemerintah daerah harus cari akal mencari pendapatan baru.
“Cara yang paling gampang untuk mencari pendapatan ya menaikkan pajaknya,” kata Herman Suparman, direktur eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Tahun ini, pemerintah melakukan efisiensi anggaran, salah satunya memangkas TKD sebesar Rp50,29 triliun.
Banyak anggaran dipangkas demi program yang disebut “berdampak langsung pada masyarakat” seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan dan energi, hingga perbaikan sektor kesehatan.
Tapi Herman bilang, selama ini hampir semua pemerintah daerah bergantung dari TKD, terutama pada instrumen dana alokasi khusus (DAK) fisik. DAK fisik ini digunakan untuk infrastruktur.
“Sekarang di daerah itu terganggu belanja modal terutama terkait pembangunan infrastruktur,” katanya.
Masalahnya, tambah dia, pemerintah pusat tidak melibatkan pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan efisiensi anggaran.
“Seharusnya ada komunikasi dulu dengan pemerintah daerah tidak langsung memotong,” jelasnya.
Opsi selain menaikkan pajak?
Masih menurut Herman, sebenarnya ada opsi lain untuk mendatangkan PAD bagi Pemerintah Daerah.
Pertama, sistem pemungutan pajak di daerah selama ini masih dianggap kuno. Pembayaran dilakukan melalui birokrasi yang semestinya bisa secara digital. Imbasnya, warga enggan membayar dan pendapatan daerah hilang. “Ini yang perlu dioptimalkan di tengah kondisi seperti ini ketimbang menaikan tarif (pajak),” katanya.
“Kedua, soal database wajib pajak. Nah ketika daerah itu tidak rapih soal database, itu jadi satu tantangan tersendiri untuk menagih.”
Selain itu, pemerintah daerah juga bisa memanfaatkan aset-aset yang dimiliki, optimalisasi BUMD, kerja sama dengan pemda atau pihak lain, dan kalau terpepet bisa mengajukan pinjaman dari bank pembangunan daerah.
“Sebetulnya yang kami dorong juga selama ini adalah bagaimana daerah itu bisa meningkatkan investasi yang pada gilirannya itu bisa berdampak terhadap potensi penerimaan daerah,” kata Herman.
Penyebab kenaikan PBB-P2?
Pengamat ekonomi, Yanuar Rizky, menilai kisruh kenaikan PBB-P2 di sejumlah daerah telah “mengonfirmasi bahwa ekonomi sedang tidak baik-baik saja”.
“Ini alert ya, peringatan untuk pemerintahan (Prabowo-Gibran),” kata Yanuar, yang meyakini anggaran negara sedang dalam tekanan.
Yanuar bilang, di balik alasan efisiensi anggaran untuk Makanan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan dan energi, hingga perbaikan sektor kesehatan, sebenarnya pemerintah juga punya utang jatuh tempo.
Utang jatuh tempo yang mesti dibayar pemerintah periode 2025-2027 mencapai Rp2.827 triliun.
“Itu ada peningkatan belanja rutin pemerintah pusat karena harus bayar utangnya,” jelas Yanuar.
Ia menambahkan, Indikasi lain yang menunjukkan adanya tekanan fiskal adalah keyakinan menurunnya daya beli masyarakat yang ditunjukkan dari deflasi yang terjadi sejak 25 tahun terakhir.
PHK juga terjadi secara bergelombang baik di sektor manufaktur maupun sektor perhotelan.
Di sisi lain, pemerintah melalui Badan Pusat Statistik membuat klaim terjadi pertumbuhan ekonomi selama April-Juni sebesar 5,12%. Namun, angka ini diragukan sejumlah kalangan karena tidak menunjukkan realitas yang ada.
“Intinya masyarakat lagi susah. Jadi menurut saya, jangan denial (menyangkal) terus, bahwa sebetulnya ekonomi kita juga sedang tidak baik-baik saja. Kan lebih baik kita itu bicara benar, bicara kesulitan, tapi dengan narasi yang benar, daripada kita berbohong seolah-olah tidak ada apa-apa,” kata Yanuar.
Ia juga khawatir kericuhan di Pati, Jawa Tengah dapat meluas. Oleh karena itu, Yanuar mendorong Pemerintahan Prabowo-Gibran kembali mengevaluasi makna dan implementasi penggunaan efisiensi anggaran.
Musababnya, kata Yanuar, kebijakan-kebijakan yang diambil Pemerintahan Prabowo-Giran selama ini “penting tapi tidak genting”. Misalnya, mempertahankan kabinet gemuk dan menambah markas untuk enam kodam baru TNI AD,
“Pemerintah kan harus melakukan adjustment (penyesuaian) dari sisi belanjanya. Jadi yang namanya efisiensi itu jangan omon-omon,” kata Yanuar.
Di sisi lain, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) sekaligus juru bicara presiden, Prasetyo Hadi, membantah kenaikan PBB-P2 di daerah karena kurangnya alokasi anggaran dari pemerintah pusat.
“Tidak ada penyebabnya karena itu, bukan ya [kurang anggaran dari pusat]. Itu kan memang kebijakan-kebijakan setiap pemerintah daerah, dan memang berbeda-beda antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lainnya,” kata Prasetyo.(TH05)