Jantho. RU – Bahasa Aceh kini menghadapi ancaman ‘degradasi’ serius dari keberadaannya. Dari Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bahasa Aceh dikategorikan dalam status definitely endangered atau terancam punah secara pasti.
Temuan ini mengindikasikan penurunan signifikan dalam penggunaan bahasa Aceh, terutama di kalangan generasi muda.
Demikian disampaikan Farhan, AP. Asisten I. Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Aceh Besar Bidang Tata Pemerintahan, Keistimewaan dan Kesejahteraan Rakyat pada rahasiaumum.com, Rabu (09/07/2025) di kecamatan Ingin Jaya.
Kata Farhan, menurut BRIN bahwa; Bahasa Aceh mendapatkan skor 3 kriteria yang labelkan oleh UNESCO.
Artinya, bahasa Aceh berada pada tingkat ancaman kepunahan yang tinggi.
“Ini bukan sekadar data, ini adalah peringatan bagi kita semua,” tegas Farhan.
Dijelaskan bahwa; berbagai faktor menjadi penyebab ancaman tersebut, mulai dari pergeseran penggunaan bahasa dalam keluarga, pengaruh globalisasi, hingga minimnya pewarisan bahasa dari generasi tua kepada generasi muda.
Farhan ‘menohok’ persepsi negatif yang berkembang di tengah masyarakat terhadap penggunaan bahasa Aceh.
“Banyak keluarga kini lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa asing dalam komunikasi sehari-hari, bahkan di lingkungan rumah. Ini realita yang harus kita ubah,” ujarnya.
Selain itu, perpindahan penduduk ke kota-kota besar dan pernikahan campur, turut mempercepat penurunan jumlah penutur bahasa Aceh.
Jika tidak ada langkah konkret, Farhan kawatir; masyarakat Aceh akan kehilangan salah satu aspek terpenting dari identitas budayanya.
“Jika bahasa punah, maka kita kehilangan lebih dari sekadar alat komunikasi. Kita kehilangan budaya, identitas, dan sejarah peradaban kita,” katanya prihatin.
Pun begitu, Farhan tetap mengapresiasi berbagai pihak yang telah berupaya melestarikan bahasa Aceh, termasuk Balai Bahasa Aceh, akademisi, dan komunitas peduli bahasa.
Menurutnya, program revitalisasi yang telah berjalan perlu terus diperkuat dan diperluas.
“Pelestarian bahasa Aceh tidak bisa hanya dibebankan kepada satu pihak. Ini tanggung jawab kolektif. Pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat harus bergerak bersama,” ujarnya.
Ditekankan bahwa; pentingnya menanamkan kesadaran pelestarian bahasa sejak dini melalui lingkungan pendidikan dan keluarga.
Upaya konkretnya, Pemkab Aceh Besar melalui surat edaran Bupati Aceh Besar mulai mewajibkan penggunaan bahasa Aceh bagi aparatur sipil negara (ASN).
“Mulai hari Kamis, seluruh ASN Aceh Besar kita wajibkan menggunakan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Kita harap di sekolah pun demikian, agar anak-anak tidak kehilangan jati diri budayanya,” tandas Farhan.
Ia berharap hasil penelitian BRIN ini menjadi momentum kebangkitan gerakan pelestarian bahasa dan budaya Aceh agar tetap hidup dan diwariskan kepada generasi mendatang.(TH05)