Banda Aceh. RU – Pada 26 Desember 2004, Tsunami dahsyat melanda Aceh, menyebabkan kerusakan parah dan korban jiwa yang sangat besar. Bencana alam ini meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Aceh dan menjadi titik balik penting dalam sejarah daerah tersebut.
Hingga kini, Aceh terus berbenah dan memulihkan diri dari dampak tsunami, namun kenangan akan tragedi ini tetap melekat kuat dalam ingatan masyarakat.
Salah satu tempat yang menjadi simbol peringatan tsunami adalah Museum Tsunami Aceh di Banda Aceh, yang berdiri sebagai monumen untuk mengenang peristiwa tragis tersebut dan menjadi pusat edukasi tentang mitigasi bencana.
Namun, seorang pengunjung, dokter muda Sari, merasakan ketidaknyamanan di museum karena adanya lapak penjual minuman di samping kolam ikan lantai pertama, yang mengganggu kesan estetika saat pemotretan foto, pada Kamis (26/06/2025).
“Momen saat pemotretan foto kehilangan kesan estetikanya karena adanya penjual minuman di samping kolam ikan. Kantin/rukoh tempat jualan sudah disediakan, kenapa bisa jualan minuman di atas? Apakah pihak pengelola tidak menghimbau rest area penjual?” kata Sari.
Sari juga menyoroti kondisi lingkungan museum yang kurang terawat, seperti kolam ikan yang kotor dan berlumut, serta area sekitar museum yang dipenuhi sampah dan botol plastik.
“Kolam ikan yang begitu kotor juga lumut kolam berlebihan, dan area keliling museum banyak sampah, botol plastik berserakan. Harapan saya kepada pihak pengelola terus mengevaluasi sterilnya lingkungan museum,” ujarnya.
Dengan demikian, museum dapat menjadi tempat yang lebih nyaman dan bermakna bagi pengunjung, serta dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Pihak pengelola museum diharapkan dapat meningkatkan pengawasan dan pengelolaan lingkungan museum, sehingga museum dapat menjadi destinasi wisata yang lebih baik dan lebih nyaman bagi pengunjung, pungkasnya.(T014)