18 Nelayan Aceh Timur Kembali Ditangkap Maritim Thailand

18 Nelayan Aceh Timur Kembali Ditangkap Maritim Thailand

Idi. RU – Sebanyak 18 nelayan asal Aceh Timur kembali ditangkap oleh otoritas maritim Thailand. Penangkapan tersebut terjadi di kawasan perbatasan laut Indonesia-Thailand.

Para nelayan tersebut diamankan pihak kerajaan thailand diduga karena melakukan pelanggaran batas wilayah dan aktivitas penangkapan ikan ilegal (illegal fishing).

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Timur, Zubir mendapatkan inforrmasi adanya 18 nelayan asal Aceh Timur yang kembali ditangkap maritim Thailand segera mengabarkan kepada anggota DPD RI asal Aceh, H. Sudirman, yang dikenal dengan sapaan Haji Uma.

Zubir melaporkan adanya dua unit kapal nelayan asal Aceh Timur yang hilang kontak sejak pagi hari.

“Kami mendapat laporan dari anggota DPRK Aceh Timur terkait hilangnya dua kapal nelayan. Setelah kami telusuri dan berkomunikasi dengan pihak KRI Songkla di Thailand, ternyata benar bahwa kapal dan seluruh awaknya telah ditangkap,” kata Haji Uma, Kamis (22/05/2025).

Kapal KM Jasa Cahaya Ikhlas yang dinakhodai Umar Johan dan membawa 12 orang nelayan, serta KM New Rever yang dinakhodai Ridwan dengan 6 orang nelayan kini berada dalam pengawasan otoritas Thailand.

Selanjutnya Haji Uma menghubungi langsung perwakilan Konsulat Republik Indonesia (KRI) di Songkla, dan menerima konfirmasi dari seorang staf bernama Jesica bahwa proses verifikasi terhadap para nelayan Aceh tersebut sedang berlangsung.

Tim dari KRI Songkla telah bergerak ke lapangan untuk memastikan kondisi para nelayan dan mempersiapkan upaya pendampingan hukum yang diperlukan.

“Tuduhan sementara terhadap para nelayan kita adalah memasuki wilayah perairan Thailand secara ilegal dan melakukan penangkapan ikan tanpa izin,” jelas Haji Uma.

Sebagai tindak lanjut, Haji Uma telah menginstruksikan timnya di Aceh Timur untuk segera melakukan pendataan lengkap terhadap seluruh nelayan yang ditangkap, termasuk riwayat pelayaran, alamat rumah, serta berkoordinasi dengan Panglima Laot, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta kepala desa asal masing-masing nelayan.

Menurut Haji Uma, pendataan ini penting untuk memudahkan proses pendampingan hukum yang akan diberikan ke depan.Haji Uma juga meminta pihak KRI Songkla untuk mengawal secara ketat jalannya proses hukum dan memastikan bahwa para nelayan Aceh mendapatkan hak-haknya selama berada dalam proses penahanan di negeri orang.

“Kita tentu belum bisa memberikan penilaian benar atau salah. Proses hukum yang berlaku di Thailand harus kita hormati. Namun bila dalam proses tersebut terdapat kekeliruan atau pelanggaran prosedur, kita akan menempuh jalur hukum untuk membela para nelayan melalui dukungan dari KBRI,” ujar Haji Uma.

Ia juga menyampaikan keprihatinannya atas peristiwa berulang ini. Menurutnya, banyak nelayan tradisional dari Aceh yang belum memiliki pemahaman dan peralatan navigasi yang memadai, sehingga kerap tak menyadari ketika telah melewati batas wilayah laut negara lain.

“Ini bukan kejadian pertama. Saya selalu mengingatkan agar nelayan kita lebih berhati-hati dan memperhatikan batas wilayah laut. Namun kesalahan seperti ini masih sering terjadi. Yang paling dirugikan tentu saja keluarga dan anak-anak mereka,” ungkapnya.

Ia menekankan pentingnya peningkatan edukasi dan pendampingan kepada nelayan, terutama yang beroperasi di wilayah perbatasan laut. Selain itu, ia mendorong pemerintah pusat dan daerah agar lebih serius dalam memberikan perlindungan hukum, pelatihan navigasi, serta bantuan alat pelacak posisi kapal bagi nelayan kecil.

“Nelayan adalah kelompok rentan yang perlu dilindungi. Saat mereka berada di perairan asing, negara harus hadir. Kita akan terus kawal kasus ini sampai ada kejelasan dan keadilan bagi para nelayan kita,” tutup Haji Uma.(HB012)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *