Wacana Penetapan Koridor Satwa di Aceh Kembali Menguat

Wacana Penetapan Koridor Satwa di Aceh Kembali Menguat
banner 120x600
banner 468x60

Aceh. RU – Sejak mencuatnya wacana penyiapan 20 ribu hektare lahan PT Tusam Hutani Lestari (THL) untuk area konservasi gajah yang disusul dengan kunjungan Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni ke Kabupaten Bener Meriah pada Desember 2024, isu penetapan koridor hidupan liar di Aceh pun kembali menguat.

Koridor hidupan liar dimaksud adalah areal atau jalur lintasan satwa, baik alami maupun buatan yang menghubungkan dua atau lebih habitat yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan.

Oleh para pegiat lingkungan, keberadaan koridor hidupan liar ini dinilai penting untuk menjaga agar satwa dilindungi seperti gajah, orangutan, badak, dan harimau tidak keluar dari habitatnya, serta memastikan jalur jelajah satwa tidak terganggu.

Sementara bagi masyarakat, hal ini diharapkan bisa mengurangi konflik satwa terutama gajah, yang kini makin sering turun ke perkampungan. Seperti yang pernah dinyatakan Sekretaris Gampong Ceuraceu, Maulidi, pascademo warga ke Kantor Bupati Aceh Jaya beberapa waktu lalu.

“Kami berharap pemerintah memikirkan solusi jangka panjang mengatasi konflik satwa di daerah kami dengan melakukan pembagian ruang yang jelas antara gajah dan manusia,” ujarnya mewakili warga.

Sedangkan di pihak pemerintah khususnya Pemerintah Aceh, rencana penetapan koridor hidupan liar ini juga sudah diupayakan setidaknya sejak 2019, saat disahkannya Qanun Aceh (peraturan daerah) Nomor 11 tentang Pengelolaan Satwa Liar. Disusul dengan penyusunan dokumen Strategi Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar (SRAP-SL) Aceh 2020-2025.

Di tahun 2023, Pemerintah Aceh kemudian mengeluarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Aceh Nomor 522/1246 tentang Penetapan Peta Indikatif Koridor Hidupan Liar sebagai Kawasan Ekosistem Esensial Provinsi Aceh. Kepgub tertanggal 27 Juni 2023 yang ditandatangani Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki itu, merincikan 9 koridor hidupan liar dengan total luasan mencapai 943.194 hektare.

Sembilan koridor itu terdiri dari koridor Aceh Jaya (114.280 ha), koridor Subulussalam-Aceh Selatan (104.238 ha), koridor Cot Girek (32.145 ha), koridor Lokop-Serbajadi (295.730 ha), koridor Pidie-Pidie Jaya (131.853 ha), koridor Woyla-Beutong (185.662 ha), koridor Rawa Tripa-Babahrot (12.042 ha), koridor Seulawah-Jantho (10.042 ha), dan koridor Peusangan (57.172 ha).

Khusus untuk lansekap Peusangan yang pengelolaannya memerlukan komitmen bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dalam memastikan penanganan konflik manusia-satwa liar secara berkelanjutan, Pemerintah Aceh juga menetapkan Master Plan Pengembangan Kawasan Perlindungan Satwa Liar di Lansekap Peusangan, melalui Keputusan Gubernur Aceh nomor 050/1387 tertanggal 9 Agustus 2023.

Dua Keputusan Gubernur Aceh ini diterbitkan dalam tahun yang sama, yang menunjukkan keseriusan Pemerintah Aceh bersama mitra lingkungan dan stakeholder lainnya dalam menangani konflik satwa secara berkelanjutan, sesuai rencana aksi (SRAP-SL) yang sudah disusun sebelumnya.

Namun di saat Pemerintah Aceh mulai serius membantu penanganan konflik satwa, Pemerintah Pusat malah bersikap sebaliknya, dengan meminta Gubernur Aceh membatalkan Kepgub tentang Penetapan Peta Indikatif Koridor Hidupan Liar sebagai Kawasan Ekosistem Esensial Provinsi Aceh tersebut.

Dalam surat bernomor: S.228/MENLHK/SETJEN/KUM.1/9/2023 yang ditandatangani Menteri LHK Siti Nurbaya itu, disebutkan bahwa Kepgub Aceh nomor 522/1246/2023 ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Padahal PP yang sama juga dicantumkan sebagai konsideran dalam menguatkan keputusan gubernur dimaksud, khususnya pasal 24 (1), Pasal 25 dan Pasal 27.

Alasan lainnya, bahwa pada saat yang sama, pemerintah pusat sedang membahas RUU Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 dimana pada draft RUU tersebut istilah Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) tidak lagi digunakan.

Selain itu, menurut Menteri LHK, Keputusan Gubernur Aceh ini juga bertentangan dengan sejumlah aturan lainnya seperti UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati.

Sikap Menteri LHK yang meminta pembatalan Keputusan Gubernur Aceh ini dinilai oleh banyak pihak sebagai sesuatu yang aneh. Karena sebelumnya, pemerintah pusat terlihat sangat antusias mendukung, bahkan berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosialisasi Rancang Bangun Koridor Hidupan Liar yang dilaksanakan di Banda Aceh pada Juli 2022.

Pejabat pemerintah pusat yang menghadiri sosialisasi itu, Danang Anggoro dari Direktorat Bina Pengelolaan dan Pemulihan Ekosistem (BPPE), termasuk pihak yang mendorong agar penetapan sembilan usulan koridor ini bisa masuk dalam peta indikatif tata ruang Aceh.

“Selain aspek ekologi satwa liar, pemetaan pemangku kewenangan, hak dan kepentingan juga penting untuk diidentifikasi. Intinya, konsep pengelolaan bentang alam yang komprehensif merupakan kebutuhan ke depannya,” kata Danang saat itu, seperti dikutip oleh sejumlah media massa.

Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto yang turut hadir di kegiatan sosialisasi tersebut, juga menyatakan harapannya agar koridor hidupan liar ini menjadi ruang kompromi antara pemerintah pusat dan daerah agar kebijakan pembangunan selaras dan tidak tumpang tindih.

Pernyataan resmi kedua pejabat ini sebenarnya sudah cukup untuk menunjukkan dukungan pemerintah pusat, dan membuktikan tidak ada yang salah dengan Keputusan Gubernur Aceh nomor 522/1246/2023 itu, kecuali soal penyebutan Kawasan Ekosistem Esensial yang bisa saja disesuaikan nantinya setelah RUU 32 Tahun 2024 itu disahkan.

Namun dengan adanya permintaan pembatalan oleh Menteri LHK itu, rencana pengelolaan koridor hidupan liar sebagai upaya mitigasi konflik satwa secara jangka panjang di Aceh pun buyar.

Meski Pemerintah Aceh memilih untuk tidak mencabut dan tetap mempertahankan Kepgub nomor 522/1246/2023 itu karena tidak ada alasan hukum yang kuat untuk membatalkannya, tapi hampir seluruh kegiatan yang berhubungan dengan penanganan konflik satwa di Aceh kemudian mengalami kevakuman. Termasuk anggaran APBA untuk mendukung operasional CRU (Conservation Response Unit) yang rata-rata dialokasikan Rp 1 miliar/tahun pun dihentikan.

Menghidupkan Kembali Wacana Koridor Hidupan Liar

Setelah hampir dua tahun wacana koridor hidupan liar tak lagi terdengar, kini Pemerintah Aceh kembali didorong untuk menetapkan ulang Peta Koridor Hidupan Liar yang sebelumnya diminta untuk dibatalkan oleh Menteri LHK Siti Nurbaya. Jelas saja hal ini membuat kesal sejumlah pihak, tak terkecuali Kepala Dinas Kehutanan Aceh, A Hanan SP MM.

Ia yang sebelumnya cukup bersemangat menjadikan hutan Aceh sebagai benteng terakhir dalam upaya menyelamatkan empat satwa kunci Sumatera yakni harimau, gajah, orangutan dan badak, kini kehilangan gairah untuk membicarakan soal koridor satwa.

Menurutnya, tidak mudah untuk menetapkan kembali keputusan kepala daerah yang sudah diminta untuk dianulir oleh pejabat pusat. Masyarakat pasti mempertanyakan bahkan bisa saja curiga dengan sikap pemerintah yang maju-mundur dan tidak konsisten terkait persoalan ini.

“Jujur saja, sampai hari ini kami tidak tau apa sebenarnya alasan Menteri LHK meminta pembatalan Keputusan Gubernur Aceh nomor 522/1246/2023 itu. Karena berdasarkan telaah hukum yang kami lakukan, tidak ada aturan yang bertentangan seperti yang disebut dalam surat tersebut,” kata A Hanan beberapa hari lalu.

Kadishut Aceh itu mengungkapkan bahwa sebenarnya ia tak ingin berpolemik terkait persoalan ini, karena ia merasa pihaknya dalam posisi terjepit.

“Di satu sisi kami harus mengikuti dan tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Namun di sisi lain, kewenangan pemerintah daerah dalam urusan kehutanan sangat dibatasi. Ditambah lagi dengan anggaran yang minim, kami dituntut untuk memberikan peran yang besar terhadap persoalan yang wewenangnya ada pada pemerintah pusat,” ungkapnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, terkait wacana koridor hidupan liar ini, pihaknya masih menunggu hasil judicial review terhadap UU Nomor 32 Tahun 2024 yang menjadi dasar penetapan koridor sebagai salah satu bentuk Areal Preservasi (penyebutan baru untuk menggantikan istilah Kawasan Ekosistem Esensial-red).

Selanjutnya, menunggu petunjuk teknis terbaru dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri khususnya terkait pembagian kewenangan pusat-daerah dalam hal pengelolaan kawasan.

“Jika sudah ada hasil judicial review (terhadap UU No.32 Tahun 2024) dan sudah ada juknis-nya (terkait pengelolaan koridor hidupan liar) mungkin kita akan kembali mengundang parapihak untuk membahas rencana penetapannya oleh Gubernur Aceh,” ujar A Hanan.

Ia menambahkan, jika nanti sudah ditetapkan oleh Gubernur Aceh, langkah selanjutnya adalah membentuk Forum Kolaboratif Pengelolaan Koridor Hidupan Liar, dan koridor Pidie-Pidie Jaya akan menjadi prioritas karena sudah lebih siap untuk dikelola.(TH05)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *