Konflik Manusia-Satwa yang tak Kunjung Selesai di Aceh Jaya

Konflik Manusia-Satwa yang tak Kunjung Selesai di Aceh Jaya
banner 120x600
banner 468x60
  • Warga: Kami Butuh Solusi Jangka Panjang

Aceh Jaya. RU – Konflik manusia dan satwa liar khususnya gajah di Aceh masih terus terjadi. Tindakan pemerintah dalam menangani persoalan ini pun hanya bersifat jangka pendek, sekedar mengusir gajah keluar dari permukiman tanpa bisa memastikan tidak terulangnya konflik serupa di masa depan.

“Inilah alasan kami melakukan unjukrasa, agar persoalan gangguan gajah di daerah kami bisa diselesaikan secara tuntas, bukan cuma sekedar penanganan sementara yang tidak memberi solusi jangka panjang,” kata Fahrul, Koorlap II aksi demo warga Kecamatan Pasie Raya ke kantor Bupati Aceh Jaya yang dilakukan Selasa 14 Januari 2025 lalu.

Fahrul mengatakan, gangguan gajah liar di desanya Sarah Raya dan enam desa lainnya di kecamatan tersebut, setidaknya sudah berlangsung sejak 2007.

“Namun penanganan yang dilakukan pemerintah tidak pernah optimal. Alasannya, tidak ada anggaran, terbatasnya personel, bahkan saling lempar tanggung jawab antar instansi. Sudah bertahun-tahun kami mendapat jawaban tidak memuaskan dari pemerintah. Sedangkan kami terus dirugikan. Mana tanggungjawab pemerintah terkait persoalan ini,” desak Fahrul yang ditemui di Gampong Sarah Raya, Aceh Jaya, Senin (27/01/2025).

Fahrul mengakui, pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh khususnya Resor Aceh Jaya, ada memberi bantuan berupa mercon dan membangun pagar kejut (power fencing) di beberapa titik untuk mencegah gajah masuk ke permukiman. Tapi upaya ini dinilai kurang efektif. Penyediaan mercon sangat terbatas karena bergantung pada anggaran yang minim. Sementara fasilitas fencing yang sudah dibangun tidak dirawat, sehingga kondisinya kini banyak yang rusak dan tidak berfungsi sama sekali.

“Hingga saat ini, kami di Sarah Raya dan sekitarnya hidup dalam ketakutan, karena kawanan gajah biasanya datang tiba-tiba di tengah malam, menghancurkan 3-6 hektare kebun dalam semalam, dan masuk ke perkampungan sehingga menimbulkan teror bagi masyarakat,” ungkap Fahrul.

  • Manusia dan Gajah Sama-sama Jadi Korban

Imuem Mukim Sarah Raya, mengungkapkan bahwa konflik gajah dan manusia di daerah ini sudah memakan korban nyawa di kedua pihak.

Peristiwa yang membuat trauma warga setempat, terjadi di akhir tahun 2008. Saat itu, masuknya kawanan gajah ke perkampungan masih menjadi menjadi hal baru bagi masyarakat Mukim Sarah Raya. Karena di masa lalu, gajah biasanya hanya bermain di sekitar Panton Krueng Suri –sebuah padang ilalang di kaki bukit dalam kawasan hutan yang secara tradisional dikenal sebagai tempat berkumpul dan berkembangbiaknya gajah.

“Kami tidak tau, apa yang terjadi di dalam hutan pada masa itu, sehingga gajah liar mulai mencari makan ke kebun-kebun warga. Kawanan gajah itu masuk ke permukiman dengan menyeberangi sungai melalui Krueng Suri, area dangkal di pucuk Krueng Teunom,” ungkapnya.

Saat itu, sudah hampir seminggu lima ekor gajah berkeliaran di kebun-kebun warga sambil melahap padi, pinang, pisang, jagung dan tanaman produktif lainnya. Warga pun terpaksa melakukan pengusiran secara swadaya dengan peralatan seadanya.

Pada malam nahas tersebut, warga kembali melakukan pengusiran gajah yang saat itu sudah berjarak ada sekitar 1 Km dari desa. Namun, warga berniat untuk menggiring Teungku Rayeuk lebih jauh ke dalam hutan.

Dari lima ekor gajah yang mulai beranjak masuk hutan, seekor di antaranya seperti tidak mau pergi dan terlihat marah dengan sikap warga yang mengusir mereka. Saat itu korban bernama Bantasyam mencoba maju sambil mengeluarkan suara-suara bising, berharap gajah itu pergi. Namun tanpa diduga, gajah jantan itu malah mengamuk dan menyerang Bantasyam yang hanya berjarak beberapa meter.

“Gajah itu kemudian menginjak-injak sambil menusukkan gadingnya ke tubuh Bantasyam. Tubuh korban pun remuk dengan dua lubang menganga di dada dan kepala. Bantasyam meninggal di tempat dalam kondisi mengenaskan,” ungkap Raja Ansari yang juga sepupu korban dari pihak istrinya.

Menjelang subuh, setelah memastikan kawanan gajah menjauh, beberapa warga yang turut menyaksikan kejadian itu membawa pulang jasad Bantasyam ke desa, disambut tangis dan teriakan histeris keluarganya.

Suasana duka yang mencekam pun menyelimuti desa hingga beberapa malam berikutnya, karena kawanan gajah terus berkeliaran di kebun dan permukiman. Menyusuri jalan-jalan desa, bahkan masuk ke halaman meunasah. Teror ini baru mereda sebulan kemudian, setelah petugas BKSDA Aceh turun melakukan patroli dan memastikan gajah menjauh dari perkampungan.

“Kejadian itu meninggalkan trauma dan kesedihan mendalam bagi warga di sini. Istri dan anak-anak almarhum kemudian pindah ke desa lain. Sebagian warga bahkan menaruh dendam pada satwa tersebut sejak kejadian itu,” kata Raja Ansari.

Saat penggunaan kawat kejut listrik (electric fencing) mulai diperkenalkan di daerah ini untuk menghalau gajah, diam-diam warga pun mencontohnya dengan membuat kawat kejut sendiri secara ilegal untuk melindungi kebun mereka dari gangguan gajah.

Tindakan ini, selain akibat kemarahan yang belum pulih atas terbunuhnya warga oleh gajah, juga disebabkan kerugian yang demikian besar akibat serangan kawanan gajah terhadap kebun sawit mereka.

“Dalam semalam, 2-3 ekor gajah bisa merusak 4 hektare kebun sawit warga, dengan kerugian rata-rata 80 juta rupiah per hektare. Ditambah lagi, kurangnya respons pemerintah terhadap persoalan ini membuat warga nekat memasang kawat listrik sendiri dengan voltase berlebih, yang kemudian menyebabkan matinya lima ekor gajah di Tuwi Peuriya,” ungkap Raja Ansari.

Kasus kematian gajah akibat tersengat kabel listrik ini terjadi awal tahun 2020. Namun penanganannya berbeda saat ada warga yang mati terbunuh oleh gajah. Dimana pemerintah terlihat sangat bersemangat untuk mengusutnya, apalagi diketahui ada gading yang hilang dari bangkai gajah tersebut. Hampir dua tahun polisi memburu pelakunya. Hingga di tahun 2021, sebanyak 11 orang ditangkap dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 1-4 tahun.

Selain itu, kasus kematian gajah juga terjadi pada November 2024 di Gampong Alue Jang, masih di Kecamatan Pasie Raya. Dimana, seekor anak gajah yang baru berumur dua hari, ditemukan mati di sekitar bendungan di desa tersebut pada Minggu (17/11/2024), yang diduga akibat dehidrasi dan infeksi pada pusar.

Keuchik (kepala desa) Alue Jang, Dedi Rosadi menjelaskan, anak gajah itu lahir pada Jumat, 15 November 2024 yang lalu, dan hal itu sudah disampaikan pihaknya ke instansi terkait.

“Namun pihak pemerintah lamban dalam merespons. Seandainya setelah lahirnya anak gajah itu petugas langsung ke sini, mungkin tidak bakalan mati,” ujar Dedi kepada sejumlah media yang saat itu ramai memberitakan peristiwa ini.

  • Pembagian Ruang Hidup Gajah dan Manusia

Muawiyah, tokoh Gampong Ceuraceu, Kecamatan Pasie Raya, mengatakan bahwa sejak dulu keberadaan gajah liar di hutan sekitar Mukim Sarah Raya sudah menjadi hal yang lumrah. Namun kehadirannya kala itu tidak sampai menjadi ancaman bagi masyarakat.

“Mereka hidup di hutan dan hanya sesekali terlihat di sekitar permukiman. Jika ada gajah yang tersesat dan masuk ke kebun warga, kami akan membiarkan gajah mengambil beberapa buah kelapa untuk diminumnya. Kepada gajah itu biasanya kami akan mengatakan ‘Ambillah beberapa buah kelapa, tapi jangan ganggu kami. Di sini bukan tempatmu, kembalilah ke hutan’. Biasanya gajah itu akan menurut dan kembali ke hutan, karena sepertinya mereka memang tidak nyaman bertemu manusia,” ungkap Muawiyah.

Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan. Dimana kawanan gajah rutin memasuki kebun dan perkampungan serta tidak takut lagi berjumpa manusia.

“Dulu kami bisa berbagi wilayah. Manusia cari makan di kebun, gajah cari makan di hutan, dan tidak saling mengganggu. Tapi sekarang, pemerintah malah memberi izin untuk aktivitas manusia di hutan dan membiarkan gajah turun ke kampung. Akibatnya, manusia dan gajah sama-sama menjadi korban,” ujarnya.

Sekretaris Gampong Ceuraceu, Maulidi, menambahkan bahwa perlu adanya pembagian ruang yang jelas, antara gajah dan manusia di wilayah itu. Seperti yang pernah dipraktikkan secara tradisional oleh masyarakat setempat di masa lampau.

“(Pembagian ruang) Ini harus dipikirkan oleh pemerintah sebagai solusi jangka panjang. Mercon dan fencing tidak akan pernah efektif karena hanya bersifat jangka pendek, di tengah maraknya pemberian izin konsesi untuk perkebunan dan pertambangan di kawasan hutan yang sebelumnya mungkin merupakan habitat gajah,” ujarnya.

Senada dengan saran Maulidi, Imuem Mukim Sarah Raya, Raja Ansari juga berharap pemerintah segera menetapkan batas yang jelas antara habitat gajah dengan perkampungan, dan mengelola batas itu dengan serius, serta menindak siapa pun yang melakukan kejahatan lingkungan yang mengganggu habitat gajah.

“Jika hal ini dilakukan pemerintah, masyarakat pasti mendukung. Karena penderitaan warga di sini sudah tak terkira. Nyawa melayang, warga masuk penjara, sawah dan kebun rusak. Setiap tahun, kawanan gajah yang kini diperkirakan sudah berjumlah 25 ekor itu turun ke desa-desa yang membuat kami hidup dalam ketakutan. Jadi, tolonglah pak, kami sudah tidak tahan lagi,” ungkap Raja Ansari, mewakili warga Mukim Sarah Raya yang berharap pemerintah peduli pada penderitaan mereka.(TH05)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *